Api Kartini
Yang menarik dari belajar sejarah adalah kita tidak bisa menyimpulkan maksud peristiwa hanya dari saat waktu peristiwa itu terjadi. Dalam sejarah, satu peristiwa berdiri dari tumpukan jutaan peristiwa yang lain dan dipengaruhi oleh banyak sebab akibat. Dan sejarah hanyalah tafsir dari peristiwa lampau, fakta yang terjadi hanya diketahui oleh yang melakukan, atau bahkan mungkin pelaku pun tidak sadar dengan apa yang terjadi padanya pada saat itu. Seperti jadi detektif, mengumpulkan data-data, informasi-informasi untuk ditafsirkan. Tafsir satu orang tentu bisa berbeda dengan orang satunya, dan itu wajar.
Untuk Kartini, ada banyak tafsir yang coba membicarakan beliau. Mulai yang menyanjung sampai mencibir. Tidak ada yang salah, karena setiap tafsir disertai argumen. Tapi sebaik-baik tafsir adalah yang dibekali dengan data yang cukup. Sekitar dua tahun lalu, terjadi perdebatan seru di facebook dengan teman-teman tentang gelar pahlawan untuk Kartini. Banyak yang menanyakan apakah pantas Ibu Kartini mendapat gelar itu, ada yang beralasan Ibu Kartini hanya besar karena campur tangan Belanda. Menarik, karena ini justru yang membuatku menjadi penasaran tentang Kartini. Apa yang sudah beliau lakukan? Banyak yang menghujat Kartini tidak konsisten dengan akhirnya menikah dan mau dipoligami, dan apakah yang dia tuliskan dalam surat-surat hanya sebuah angan-angan tanpa tindakan?
Ada beberapa buku bagus yang membahas Kartini. Buku Gadis Pantai-nya Pak Pram, Panggil Aku Kartini Saja-nya Pak Pram, Edisi Liputan Khusus Kartini Majalah Tempo, Habis Gelap Terlitlah Terang Armin Pane, Kartini Biografi. Dari penyarian buku-buku itu, kesimpulan yang bisa dibuat justru Kartini saat ini telah menjadi mitos. Dengan menjadi mitos, karya dan pemikiran Kartini mengalami reduksi, penyempitan, dan penurunan peran. Kartini identik dengan sanggul, kebaya, pahlawan emansipasi, tapi sedikit yang benar-benar mengetahui api Kartini. Kartini lebih dari hanya tuntutan kesetaraan pendidikan, kesetaraan pekerjaan. Kartini lebih dari itu. Dua hal di atas hanya bagian yang memang menjadi fokus Kartini, tapi bukan utama.
Di tulisan ini, akan lebih dibahas tentang kondisi sekitar Kartini yang menjadi pendukung pemikiran beliau. Sangat perlu mempelajari Kartini dan memaknai ide-idenya, tidak cukup menyimpulkan Kartini hanya dari informasi yang beredar sepintas, karena akan terkesan dangkal. Apapun kontroversi kepahlawanan Kartini, tapi fakta bahwa dia turut menjadi pondasi pergerakan kemerdekaan. Memang bukan dengan berperang, atau bebas keluar tapi dengan menyumbangkan ide yang menginspirasi Bung Karno dan tokoh-tokoh pergerakan lain, bahkan ide2nya sampai sekarangpun masih relevan untuk diterapkan.
Untuk itu, saya setuju dengan sejarawan Hilmar Farid seperti yang ditulis dalam Majalah Tempo. "tapi ia sadar, lebih daripada pendahulunya, bahwa pekerjaan merawat "ruang dalam (spiritual, pribadi, keluarga, dan kebudayaan) itu terutama ada di tangan perempuan. "Perempuan sebagai pembawa peradaban! ...Karena dari perempuanlah orang menerima pendidikan yang pertama, seorang anak belajar, merasa, berpikir, dan bicara - dan saya semakin lama semakin sadar bahwa pendidikan dini bukan tanpa arti penting dalam kehidupan seterusnya. Tapi bagaimana kaum ibu pribumi bisa mendidik anak-anak mereka jika mereka sendiri tidak terdidik?" tulis Kartini. Di sini perjuangan perempuan memasuki fase baru, yang tidak sekedar menuntut pengakuan, tapi justru mengklaim keberadaanya dalam kehidupan bangsa."
Kartini dan Keluarga
Kembali ke paragraf awal, satu peristiwa dan satu pribadi terbentuk dari tumpukan sejarah, tidak bisa berdiri sendiri. Apa yang terjadi pada Kartini adalah juga bentukan keluarganya. Kartini tumbuh di keluarga yang mempunyai pemikiran maju (progresif). Ini jauh berbeda dari pandangan awamku semula bahwa ayah Kartini adalah priyayi jawa kolot yg memingit dan memaksa anaknya menikah di usia muda. Kakeknya Tjondronegoro menjadi Bupati Kudus pada saat umur 25 tahun, karena prestasinya dipindah menjadi Bupati Demak. Dalam catatan sejarah, kakeknya adalah orang pertama di Jawa yang menyatakan pentingnya pendidikan untuk pribumi. Dia menyekolahkan anak-anaknya, dan waktu pihak Belanda melarang anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah, dia membayar guru privat untuk mengajar anak-anaknya. Satu dari empat anak-anaknya adalah Sosroningrat, ayah Kartini. Cikal bakal dari semangat Kartini tentang pendidikan adalah upaya untuk merawat tradisi pendidikan kakeknya.
Sosroningrat meniru jejak ayahnya dengan membiarkan anak-anaknya sekolah bersama bersama orang Belanda. Bahkan kakaknya Kartini, RMP Sosrokartono adalah mahasiswa pertama dari Hindia yang bisa sekolah di Belanda. Ayah Kartini membiarkan anaknya membaca buku-buku belanda, majalah majalah terbitan belanda, dan selalu berdiskusi dengan anak2-anaknya. Kartini lincah dan pintar, itu yang disukai oleh ayahnya, dan beliau mendukung Kartini. Tapi sang ayah mempunyai kelemahan, dia masih sulit untuk keluar dari tradisi jawa tentang anak perempuan yang harus menjalani pingitan dan menikah. Dia memingit Kartini pada saat Kartini belum genap 13 tahun. Pingitan dalam masa itu adalah membatasi ruang gerak, di dalam kamar, tidak bisa sekolah, tidak bisa bertemu dengan banyak orang lain, bahkan tidak bisa keluar ke aula rumah sampai datang lamaran untuk sang wanita. Kartini menangis bahkan bersujud pada ayahnya untuk tetap bisa sekolah dan tidak dipingit. Tapi sayangnya permintaan Kartini tidak dipenuhi ayahnya pada saat itu.
Kompensasi yang diberikan ayahnya selama masa pingitan adalah tetap membiarkan buku-buku, majalah-majalah, aktifitas dalam rumah Kartini tetap bisa dilakukan. Pada masa inilah, pemikiran Kartini semakin berkembang dan bisa menghasilkan banyak karya tulisan. Tulisan Kartini tidak melulu tentang kesetaraan tetapi juga tentang antropologi, kondisi sosial masyarakat, etnis tionghoa, monopoli candu, dan posisi Hindia di mata Belanda. Tapi masa pingitan tak berlangsung selamanya, karena ayahnya akhirnya menyerah dan membebaskan Kartini dari pingitan setelah berjalan enam tahun. Setelah bebas, Kartini dan dua saudaranya yang lain Roekmini dan Kardinah banyak melakukan kegiatan untuk merealisasikan ide-ide mereka. Mereka mengunjungi kampung-kampung di Jepara (blusukan, kalau istilah sekarang), untuk mencatat apa yang menjadi keluhan masyarakat, mereka memberdayakan pengukir-pengukir Jepara untuk bisa mengekspor ukiran mereka ke Semarang, Batavia, bahkan Belanda, Kartii secara khusus menciptakan motif lung-lungan (rangkaian) bunga dan macan kurung untuk ukiran Jepara, mereka mendirikan sekolah untuk masyarakat di rumahnya. Semua kegiatan itu mendapat dukungan dari ayahnya. Walaupun karena itu, ayahnya mendapat cibiran dan gunjingan dari sekitar karena terlalu membebaskan putri-putri mereka, yang sangat tabu pada masa itu.
Cibiran terus berlangsung sampai Kartini berusia 24 tahun, yang sudah masuk ke kategori perawan tua untuk usia menikah pada jaman itu. Sosroningrat menderita psikosomatik dan jatuh sakit. Dua orang laki-laki yang sangat disayangi Kartini adalah ayahnya dan kakaknya. Dia tidak kuasa melihat ayahnya sakit-sakitan dia dihadapkan pada dilema apakah mengikuti keinginan ayahnya dan membahagiaannya atau tetap pada cita-citanya. Perlu menjadi catatan bahwa keinginan Kartini untuk tidak menikah bukanlah karena gerakan anti pernikahan, tapi lebih kea rah kekhawatiran apakah ada laki-laki yang akan menerima keanehan-keanehan pemikirannya pada jamannya, keprogresifannya, dan kegiatan-kegiatannya mengingat dia tidak bisa berdiam diri.