KESETIAAN SEORANG ISTRI
Darni terlihat gelisah. Tangannya tak lepas dari hand phone yang digenggam erat. Seakan ada yang ditunggu. Sesekali dia terlihat mengusapkan selembar tissue ke matanya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, menatap nanar ke setiap pesepeda motor yang lewat.
Tiba-tiba hand phone di tangannya berbunyi. Segera dia angkat dan didekatkan ke telinganya.
"Hallo !", katanya gugup.
Tidak ada jawaban dari penelepon. Sambungan diputus. Darni terduduk menangis. Harapan yang semula timbul, tiba-tiba sirna kembali. Harapannya untuk mendengar kabar darinya hancur kembali berkeping-keping.
"Mas, kamu di mana? Aku sangat mengkhawatirkan Mas. Aku tak bisa begini terus." Darni berucap lirih sambil sesenggukan .
Ini adalah hari kedua suaminya pergi dari rumah. Bukan kepergian biasa. Harjo, suami Darni adalah pengidap bipolar disorder. Kepergiannya saat ini justru pada saat depressive episodes. Dalam episode ini, Harjo tak memiliki semangat, motivasi berkurang, dan kehilangan minat dalam menjalani kehidupannya. Itulah mengapa Darni sangat gelisah mengkhawatirkan kabar suaminya.
Bukan sekali ini Harjo pergi dari rumah. Dulu pernah dia pergi dari rumah selama 3 hari. Namun pada saat itu Soleh, teman Harjo, memberi kabar bahwa Harjo ada di rumahnya dalam keadaan sehat. Soleh bahkan mengirimkan foto saat Harjo berada di sana.
Kali ini berbeda. Harjo pergi setelah dia mengungkapkan ketersinggungannya pada ucapan seseorang. Darni berusaha menghibur hati suaminya, namun Harjo tetap merasa tak nyaman. Bahkan dia mengajak untuk pindah rumah, dan tak mau menerima jawaban tidak dari anak dan istrinya. Harjo meminta anak istrinya memilih, mau pindah rumah atau dia yang pergi dari rumah.
Tiba-tiba hand phone Darni berbunyi lagi. Harjo memanggil.
"Ya, hallo, mas," jawab Darni lirih.
"Bu, aku ada di rumah Slamet di Boyolali. Tak usah khawatirkan aku. Aku belum tahu kapan akan pulang," kata Harjo.
"Tapi, mas.." Tuuuut....Sambungan kembali diputus.
Darni sedikit kecewa, tapi dia tersenyum. Setidaknya dia tahu keberadaan suaminya. Sekarang tugas Darni adalah menjaga anak-anak dan rumah tangganya  agar tetap berjalan. Suaminya pergi tanpa meninggalkan uang sepeser pun. Bahkan ayam peliharaan mereka dijual semua untuk bekal dia pergi dari rumah. Kehidupan dalam rumah harus tetap dipenuhi. Ada dua buah hati mereka yang masih harus dirawat dan dijaga.
Darni mulai memutar otak untuk bisa mempertahankan dapurnya agar tetap bisa mengebul. Darni tak ingin anak-anaknya mengetahui kesulitan rumah tangganya. Dia ingin mereka tumbuh normal sebagaimana seharusnya. Darni selalu mengatakan bahwa ayah mereka sedang bekerja di luar kota sehingga tak bisa pulang.
"Bu, Doni lapar !" Â Anak keduanya berteriak. Tangannya menarik-narik ujung kerudung ibunya.
Doni baru berusia 6 tahun. Dia memang anak yang gembul, tak pernah sulit makan. Apa pun yang disediakan selalu dimakan dengan lahap. Berbeda dengan kakaknya, Mira.Usianya sudah 8 tahun. Mira sedikit pilih-pilih dalam hal makanan. Ini dikarenakan kondisi perutnya yang tak normal lagi, semenjak dia sakit diare yang parah beberapa tahun yang lalu. Dia asyik bermain boneka di depan televisi.
Darni beranjak ke dapur. Dia buka lemari es butut yang mereka punya. Ada wortel dua buah, kubis yang sudah seukuran telapak tangan, dan beberapa butir telur. Darni lega, setidaknya dia masih bisa menyiapkan menu orak arik telur untuk kedua buah hatinya. Segera dia bersiap memasak.
Tiba-tiba hand phone kembali berbunyi. Bergegas Darni membukanya. Rupanya suaminya yang menelepon.
"Ya, mas. Ada apa? "
"Bu, aku kehabisan uang. Tolong kamu kirim, ya? Aku tunggu."
"Mas, dari mana aku bisa mendapatkan uang? Sedangkan Mas tahu aku tidak bekerja," jawab Darni setengah bingung.
"Kalau kamu nggak ngirim uang, aku nggak bakalan pulang."
Darni tertegun, " Ya, mas. Aku usahakan secepatnya."
Seketika ingatan Darni menuju Surti, kakak satu-satunya. Semenjak  bapak dan ibunya tiada, hanya Surti tempat Darni berkeluh kesah. Dia faham, kakaknya juga bukan kalangan orang berada, walaupun suaminya seorang Pegawai Negeri Sipil golongan rendah. Namun dia tak punya pandangan lain. Darni bukan jenis perempuan yang punya banyak teman. Dia terlalu malu untuk mengganggu orang lain, walau pun kepentingan yang mendesak.
Segera dia menelepon kakaknya.
"Mbak, maaf ya. Aku mau ngrepoti." Ujarnya lirih.
"Ada apa, Dik? , " tanya kakakku.
"Anu, Mbak, anuu....mau pinjam uang, ada? Sedikit saja, kok." Kata Darni takut-takut.
"Berapa? Buat apa? Jatah bulanan suamimu habis?" tanya kakakku bertubi-tubi tapi lembut.
"Mas Harjo, Mbak. Dia pergi lagi. Sudah dua hari," jawabku menahan tangis.
"Ya Allah, Dik. Kenapa nggak bilang aku? Doni dan Mira bagaimana? Masih punya bahan makanan untuk mereka? Kasihan. Atau dibawa saja ke sini, Dik? Biar mereka bermain dengan Arsyil"
Kakaknya terlihat sangat khawatir. Dia faham benar  masalah Darni  dengan kondisi suami bipolar-nya. Selama ini, memang hanya dia yang tahu permasalahan rumah tangga adik satu-satunya itu. Dia juga awalnya tak menyangka, karena Harjo adalah sosok yang sangat mudah bergaul dan rajin beribadah. Tak terlihat sedikit pun terlihat tanda-tanda bahwa Harjo adalah seorang penderita bipolar disorder.
Gejala-gejala itu terlihat setelah Darni melahirkan anak pertama mereka. Harjo terkadang cepat sekali berubah mood-nya. Dalam suatu kesempatan dia sangat antusias dengan kehidupannya, bercerita dan bercanda dengan anak-anak. Â Namun terkadang tiba-tiba Harjo terlihat murung , gelisah, dan badannya lemah seperti tanpa tulang. Bahkan saat anak mereka mengajak bercanda pun, Harjo marah dan menyuruh mereka pergi dengan kasar. Harjo seakan menjadi pribadi yang berbeda.Darni saat itu hanya berfikir, suaminya sedang memiliki beban batin yang tak bisa terungkapkan.
"Dar, Darni..., bagaimana ? " Suara Surti mengagetkan Darni.
"Ya, ya..ya,Mbak. Aku ke rumah mbak Surti sekarang," kata Darni.
Darni meraih kedua anaknya ke pangkuannya. Dia pandangi keduanya sambil tersenyum. Kemudian dia berkata,
" Doni, Mira.... Kalian kangen mas Arsyil ? Yuk, kita ke sana. Mau ?"
"Yieeyyy...! "
Kedua kakak beradik itu berteriak kegirangan. Segera mereka berdiri dan meloncat-loncat kegirangan, matanya berbinar-binar. Darni berkaca-kaca. Betapa kedua buah hatinya sangat memahami  keadaan orang tuanya. Doni dan Mira tak pernah menyusahkan mereka. Darni sangat bersyukur.
"Ayo, Bu ! Katanya ke rumah mas Arsyil," teriak Mira.
"Ayuuuk, kita bersiap-siap." Darni tersenyum dan memeluk mereka berdua erat-erat.
Tiba-tiba hand phone kembali berbunyi. Darni melepaskan pelukan anak-anaknya.
"Sebentar, ya. Kalian ganti baju dulu. Ibu angkat dulu telepon dari ayah,"
Darni berjalan keluar menjauh dari anak-anaknya. Dia tak ingin mereka mendengar perbincangan mereka.
"Ya, Mas. Aku baru mau berangkat ke rumah mbak Surti. Dia mau membantu kita."
"Kamu mau ke rumah mbak Surti? Ya udah, aku juga ke sana, nanti kita ketemu di sana."
Darni terkejut. Dia tak percaya dengan pendengarannya. Bergegas dia memanggil kedua buah hatinya untuk segera berangkat ke rumah Surti. Dia keluarkan sepeda motor kesayangan suaminya. Perlahan dia meluncur bersama kedua anak-anaknya. Hatinya bergemuruh tak dapat memahami kenyataan bahwa suaminya akan ke rumah Surti juga. Ada rona kebahagiaan di wajahnya.
Sesampainya di rumah Surti, Doni dan Mira berlari masuk sambil memanggil kakak sepupunya. Darni masuk memarkir motornya perlahan, sambil menatap pintu, berharap melihat sosok suami  yang sangat dia rindukan. Surti menyambutnya dengan senyum.
" Assalamu'alaikum. Darni, ayo masuk," katanya lembut.
"Mas Harjo di mana? Dia sudah datang ?" Darni tak menjawab salam kakaknya. Matanya menatap ke setiap sudut rumah kakaknya. " Dia bilang mau menunggu di sini, mau ketemu aku dan anak-anak. Atau dia baru ke belakang?"
"Darni, Harjo tidak ke sini. Tak ada siapa pun di sini, kecuali aku dan Arsyil." Surti menjawab dengan keheranan.
Dengan panik dia mencoba menelepon suaminya.
"Mas, kamu di mana? Aku sudah ada di rumah mbak Surti dengan anak-anak.", katamya.
"Aku nggak jadi ke sana. Aku ada di warung mi depan sekolahan. Kalau kamu mau ketemu, segera datang ke sini. Karena aku harus segera pergi lagi," sahut suaminya datar.
Bergegas Darni pamit ke kakaknya. Dia titipkan anak-anaknya untuk menjemput suaminya. Dia tak mau kesempatan ini terlewat . Dia harus bertemu dengan suaminya, jangan sampai dia pergi lagi. Pikirannya berkecamuk tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata.
Ketika sampai di warung mi di mana suaminya berada, Darni berhenti. Dia tunggu di luar sejenak, menunggu suaminya keluar. Tiba-tiba mata Darni menangkap sosok suaminya di jalan raya. Langkahnya gontai, bajunya lusuh, dan di tangannya menenteng tas plastik. Darni menyusul suaminya secepat dia bisa.
"Mas, berhenti!" Darni berteriak menghentikan sepeda motornya di samping Harjo.
Suaminya menengok. Dia tersenyum melihat istrinya.
"Mas, ayo kita pulang." Darni mengajak suaminya dengan lembut.
Harjo tersenyum. Lalu mengangguk pelan.
"Aku sudah membungkus mi untuk Doni dan Mira." Kata Harjo sambil menunjukkan tas plastik yang dari tadi ditentengnya.
"Kita pulang saja dulu, biarkan Doni dan Mira di rumah budenya. Aku kangen, Mas".
Dani mendekap erat pinggang suaminya di atas sepeda motor. Kepalanya bersandar di punggung suaminya dengan manja. Mulutnya tersenyum bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H