Hutan rakyat berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49 Tahun 1997 diartikan sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0.25 hektar, penutupan tajuk tanaman berkayu dan/atau jenis lain yang melebihi 50% atau jumlah tanaman pada tahun pertama minimal 500 tanaman per hektar. Hutan rakyat digadang-gadang sebagai salah satu pemasok bahan baku kayu terbesar bagi industri perkayuan nasional.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Y. Ruchyansyah, dalam kegiatan talkshow pelibatan publik (engagement activity) sekaligus diseminasi hasil penelitian dengan tema “Penguatan Perhutanan Sosial: Menghubungkan Hasil Riset dengan Kebijakan, Petani, dan Pasar” yang dilaksanakan di Sheraton Lampung Hotel pada hari Rabu (07/04) mengungkapkan bahwa di Provinsi Lampung, hutan rakyat/hutan hak menyumbang ±80-90% untuk kebutuhan industri kayu sementara 10%-nya berasal dari luar Provinsi Lampung (Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan). Mengingat pentingnya kontribusi tersebut, maka diperlukan pengaturan pengelolaan hutan rakyat guna mewujudkan produksi kayu secara berkelanjutan, salah satunya dengan pembuatan peraturan desa (Perdes).
Menilik pada kegiatan penelitian Enhancing Community-Based Commmercial Forestry in Indonesia (2016 – 2021), sebuah kegiatan kerjasama Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI-KLHK) dengan Australian Center for International Agriculture Research (ACIAR) yang dilaksanakan di Desa Malleleng, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Nur Hayati selaku narasumber talkshow dari Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar memaparkan bahwa timnya berfokus pada kegiatan di hutan rakyat karena 19% masyarakatnya memilih untuk menggarap hutan rakyat.
Kontribusi hutan rakyat bagi pendapatan masyarakat pun cukup besar, yakni mencapai ±20%. Akan tetapi, kebijakan hutan rakyat bak anak ayam kehilangan induknya. Kewenangan pengelolaan hutan rakyat yang awalnya berada di tingkat kabupaten dialihkan menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
Hal tersebut menjadikan masyarakat kehilangan tempat bertanya, yang semula bisa bertanya ke penyuluh tetapi dikarenakan jarak Bulukumba ke Makassar (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan/Dinas LHK) memakan waktu yang cukup lama -5 jam perjalanan-, masyarakat mengalami kesulitan untuk berkonsultasi langsung ke penyuluh terkait pengelolaan hutan rakyat.
Selain itu, pengadaan bibit yang awalnya disuplai oleh Dinas LHK Kabupaten Bulukumba, sejak terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pihak Dinas LHK hanya fokus pada tahura dan hutan adat saja. Hal inilah yang menjadi alasan inisiasi perlunya peraturan desa. Bemula dari hal tersebut maka dilakukan diskusi tentang bagaimana cara pengelolaan hutan rakyat yang optimal. Kepala Desa Malleleng pun menyambut baik hal ini.
Perdes Pengelolaan Hutan Rakyat Berkelanjutan di Desa Malleleng, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan yang digali dari anggota masyarakat dan tokoh masyarakat di sana dapat menjadi pilot project atau percontohan yang ke depannya diharapkan dapat menginisiasi desa-desa lain dalam hal pengaturan tata kelola kayu rakyat.
Peraturan desa ini pun sifatnya tidak mengekang dan bukan untuk ikut campur mengatur lahan milik. Nur Hayati dalam pemaparannya menambahkan bahwa pengaturan atas hutan rakyat diperlukan dengan beberapa pertimbangan, salah satunya untuk keperluan data dan informasi mengingat data potensi hutan rakyat yang tidak up to date.
Nantinya, data dan informasi yang diperoleh akan digunakan sebagai database dalam pengelolaan serta pengembangan hutan rakyat. Selain itu, dengan adanya pengaturan atas hutan rakyat melalui Perdes maka akan ada keterjaminan dan rasa aman bagi masyarakat dalam memanfaatkan serta memasarkan kayu dari lahan milik karena selama ini petani mengalami kesulitan dalam hal pemasaran akibat adanya 'pungli'. Kelestarian fungsi hidro-orologi dan konservasi dengan adanya hutan rakyat pun akan terjaga karena memiliki fungsi sebagai pengatur iklim mikro.
Adanya Perdes juga diharapkan mampu mendukung penguatan tata kelola kayu rakyat di desa, ungkap Nur Hayati. Adanya Perdes berpotensi memberikan manfaat pada desa dalam mewujudkan pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan sehingga tercipta kontinuitas poduksi kayu rakyat. Manfaat tersebut berupa tersedianya data potensi kayu rakyat di desa. Melalui Perdes petani diberi kewajiban untuk mencatat potensi serta jenis tanaman di lahannya kemudian dilaporkan ke kades.
Manfaat lain yang dapat diperoleh antara lain: desa dapat menyediakan bibit secara mandiri dengan dibangunnya Kebun Bibit Desa (KBD), terjadi peningkatan kapasitas petani hutan rakyat melalui transfer ilmu, pemberdayaan ekonomi lokal melalui pengembangan pewarna alami dari pohon yang ditanam di hutan rakyat, serta pembuatan souvenir yang dikelola BUMDes.