Saya juga akan belajar untuk rendah hati selalu. Saya ingat pernah mendapatkan pesan untuk tidak memanggilmu dengan sebutan Profesor dengan alasan takut mudah pikun. Ada-ada saja. He he he.
Saya belajar banyak darimu, Prof.
Terima kasih lagi.
Karena sudah pernah mempercayakan kata-kata pada saya. Pernah meminta untuk dibuatkan lirik yang ternyata dinyanyikan dengan indah oleh Profesor sendiri.
Bolehkan, Prof, saya putar ulang ketika merindukanmu? Ya walau liriknya kini jadi terasa lebih sedih. Setidaknya suara itu adalah milik Prof. Edi.
Prof, saya akan ingat...
Kata-katamu yang, maaf, belum sempat saya wujudkan. Kata Profesor, "Lis, aku tunggu novelnya. Nanti filmkan ya~" Prof. Edi yang tidak pernah bosan menanyakan kepenulisan saya.
Saya tidak bisa untuk tidak menangis atas pergimu, Prof. Saya menangis bahkan ketika saya menulis ini. Saya masih tidak percaya bahwa takdir membawa pada episode yang tidak ingin saya temui secepat ini. Cepat bagi saya.
Maaf, di hari terakhirmu, saya tidak ada di tempatmu. Di sini saya mendoakan dari tempat tinggal saya yang baru, yang sebenarnya ingin saya bagikan ceritanya padamu, Prof.
Ada hal di sini yang membuat saya teringat Profesor.
Selamat menari dalam keabadian, Prof. Saya tidak akan lupa bercerita tentangmu dan mendoakanmu. Saya tidak akan melupakan tiap pertemuan kita. Tulisan ini pengingatnya.
In memoriam Prof. dr. Edi Dharmana, M.Sc., Sp. ParK., Ph.D.
12 Maret 1947-10 Januari 2021