Meski saya tidak terlalu paham apa yang disampaikan dalam khutbah idulfitri di masjid karena berbahasa Sunda, entah mengapa itu justru jadi hal lain yang dirindukan tiap kali merayakan lebaran di kampung halaman.
Lebaran di Tengah Pandemi Tahun Ini
Tidak ada mudik. Tidak ada rebutan takjil di akhir puasa. Tidak ada kembang api yang dinyalakan bersama. Tidak ada air panas dari Nenek. Tidak ada salat id di masjid yang pagi-pagi sekali. Tidak ada khotbah bahasa sunda yang tidak saya mengerti. Begitulah yang terjadi di lebaran saya tahun ini.
Baru pertama kali saya merasakan bagaimana suasana lebaran bukan di kampung halaman. Di tengah pandemi pula. Ini juga pasti bukan hanya saya sendiri yang mengalami.
Tidak ada ramai menyambut lebaran yang biasanya memenuhi jalan. Tidak ada yang datang untuk silaturahmi. Kita yang di lebaran ini diajarkan untuk menghindari dan menciptakan kerumunan.
Lebaran kali ini semua menjadi serba virtual. Semua yang dilakukan aman dari rumah saja.
Beruntungnya ditolong oleh teknologi. Walau tidak ada raga saling berjumpa tetapi ada yang bisa ditatap pada sebuah layar. Kita yang jadi terbiasa berbicara sendiri di hadapan alat-alat canggih itu.
Lebaran ini halalbihalal bukan tidak ada, tetapi berpindah cara. Bukan dengan datang ke aula-aula tetapi cukup menyiapkan kuota. Kita yang kini lebih khawatir kehilangan sinyal dan mati listrik daripada macet di tengah jalan.
Lebaran kali ini tidak mungkin tidak berkesan atau malahan akan paling berkesan karena banyak mengajarkan kita untuk memaknainya dengan cara yang tidak biasa. Cara-cara yang jarang dilakukan di tahun sebelum-sebelumnya.
Oya, apakah si dia sudah menghubungimu untuk mengucapkan permohonan maaf karena sudah meninggalkanmu pas sayang-sayangnya?wkwk
Selamat idulfitri, selamat berlebaran. Semoga semua lekas baikkan. Aamiin.