Rupanya bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga muasal cerita-cerita indah.
Baru dua kali bulan Ramadan saya pernah rasakan di Jogja. Itu pun tidak sebulan penuh saya alami, karena rumah saya yang tidak jauh membuat saya tak jarang pulang ke Temanggung. Meskipun tidak banyak hari-hari di bulan Ramadan yang saya nikmati di Jogja, ada kenangan yang Alhamdulilah saya ciptakan dengan baik tiap bulan suci tiba. Melalui dua masjid yang saya sempatkan datang di tiap Ramadan.
Masjid Pertama, Masjid Kampus UGM
![Penampakan Masjid Kampus UGM Kala Malam | Foto: Tomy Rock Indrawan](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/30/foto-masjid-ugm-1-e1575264143913-696x397-5eaad6f9097f360ccd4d7432.jpg?t=o&v=770)
Masjid Kampus UGM atau sering dijuluki dengan Maskam UGM adalah masjid kampus terbesar di Jogja dengan kapasitas kurang lebih 10.000 jamaah. Mulai dibangun pada tanggal 21 Mei 1988 di bekas komplek pemakaman Tionghoa, masjid yang letaknya berada di kompleks Bulak Sumur ini baru digunakan untuk pertama kalinya pada tanggal 4 Desember 1999. Menariknya lagi, dalam pembangunannya pun ditangani oleh mahasiswa Arsitektur UGM dengan menghabiskan dana sebesar 9,5 miliar.
Saat-saat Ramadan, Maskam UGM termasuk salah satu tempat yang ramai dikunjungi tidak hanya dari kalangan mahasiswa. Tak jarang masyarakat umum turut bergabung sembari menunggu buka puasa tiba. Apalagi di sekitaran maskam biasanya juga muncul banyak penjual takjil dadakan menjual beraneka ragam panganan yang menggoda.
Selayaknya masjid yang lain, maskam kampus UGM pun menyediakan takjil gratis dan cukup terkenal di kalangan pemburu takjil karena menunya yang membuat bahagia terutama golongan anak kosan. Sampai-sampai jika kamu datang terlambat, bisa juga tidak dapat. Saya ingat sekali kejadian di tahun lalu, dimana saya dan teman saya datang ke maskam untuk berburu takjil ayam bakarnya. Padahal kami datang sebelum pukul lima, tetapi apa mau dikata ternyata kupon takjil sudah tidak tersisa. Alhasil kamipun membeli saja di sekitar Maskam. Hehe.
Maskam Kampus UGM memang menjadi magnet tersendiri bagi mereka yang berada di Jogja. Terlepas dari takjil Ramadannya, gaya arsitektur maskam yang merupakan perpaduan dari gaya Masjid Nabawi, kebudayaan Tionghoa, India dan Jawa juga tak kalah memikat mata. Apalagi di halaman Maskam ini juga terdapat kolam yang sekilas mirip dengan bangunan Taj Mahal. Di sekitar kolam ini pula biasanya banyak orang duduk-duduk sembari menunggu berbuka.
![Masjid Kampus UGM | http://kopma.ugm.ac.id/](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/30/maskam-5eaad84b097f361f4b24c008.jpg?t=o&v=770)
Namun, pihak Kampus tetap memberikan ceramah yang bisa dinikmati di kanal Youtube dan tetap menerima zakat, infaq, sedekah dan paket buka puasa yang akan disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.
Ya, dari informasi yang saya peroleh, saya bisa membayangkan bagaimana Ramadan di Maskam Kampus yang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Sedih, tetapi semoga saja semua ini lekas membaik. Hampir lupa, saya makin merasa beruntung sekali karena lokasi Maskam UGM dan kosan saya waktu itu tidak jauh. Hanya sekitar 1,3 kilometer saja. Bahkan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Ah, benar-benar rindu sekali.
Masjid Kedua, Masjid Jogokariyan
Selanjutnya Masjid yang juga tidak akan saya lupa kenangannya dan kelak saya harap bisa datang lagi. Adalah Masjid Jogokariyan. Iya, masjid yang viral itu. Saya harus akui, saya mengunjunginya juga karena rasa penasaran karena berita-berita yang banyak tersebar. Setelah membuktikannya langsung, "pantas saja!" batin saya.
![bagian dalam Masjid Jogokariyan | https://www.kartanesia.com/](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/30/interior-masjid-jogokariyan-5eaad754d541df0447222f32.jpg?t=o&v=770)
Sama seperti Maskam UGM, masjid Jogokariyan ini juga tak kalah ramai dikunjungi dari berbagai kalangan bahkan dari luar kota. Tidak hanya di waktu Ramadan, pun di waktu hari-hari biasa, Masjid Jogokariyan yang tidak pernah sepi.
Kalau Maskam UGM bisa saya jangkau dengan jalan kaki, masjid Jogokariyan beda cerita. Jika ditarik dari kosan saya, perlu 7 kilometer lagi untuk sampai di lokasi. Namun, saya beruntung karena rute menuju Masjid Jogokariyan adalah rute yang tidak asing lagi. Lokasinya searah dengan sanggar menari saya. Kalau dari Sanggar kira-kira butuh waktu 5 menit lagi untuk sampai.
Jika kita datang ke sana, penampakan Masjid Jogokariyan seperti umumnya Masjid lain yang sering kita jumpai. Yang membuat jadi takjub adalah manajemen masjid yang berfokus pada umat. Salah satunya adalah gerakan sisa infak nol rupiah yang menandakan bahwa tidak ada infak yang ditibun melainkan akan terus berputar untuk kemaslahatan jamaah. Selain itu, ada juga fasilitas Masjid Jogokariyan yang membuatnya jadi beda dengan yang lain yaitu adanya 11 kamar penginapan yang dapat disewa.
Setiap bulan Ramadan, Masjid Jogokariyan selalu mengadakan kegiatan tahunan bernama "Kampoeng Ramadhan Jogokariyan" dengan salah satu acara yang paling dinanti dan menjadi daya tarik adalah pemberian 3000 takjil piring setiap hari.
Dilihat dari pemberitahuan di instagram. Di tengah wabah corona, pemberian takjil masih tetap dilakukan. Hanya saja dengan beda konsepnya. Dimana bukan lagi piring melainkan box makanan dengan sistem dibawa pulang/take away atau lantatur/drive thru. Sejalan dengan imbauan pemerintah untuk melakukan social/physical distancing.
Cerita soal Ramadan tahun lalu di Jogokariyan sudah pernah saya tuliskan di sini.
![takjil di Masjid Jogokariyan | https://www.gudeg.net/](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/30/20190507103134-5eaad7c6d541df645b67a874.jpg?t=o&v=770)
Sudah pernah ke masjid yang saya sebut di atas? Kalau corona sudah reda, silakan masukan kedua masjid tersebut untuk dijadikan rekomendasi kunjungan religimu ketika sedang di Jogja, ya.
Salam,
Listhia H. Rahman
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI