Galau teroooosss~
Gara-gara tulisan sendiri, sering kali saya dikomentari demikian. Terutama tulisan yang genre-nya saya labeli fiksi.
Tidak salah memang. Sebab kalau dilihat-lihat, aliran yang saya bawa seringnya memang tentang patah hati, yang ditinggalkan, rindu, kesepian,--hal-hal yang menyebabkan kegalauan lainnya. Jadi saya juga setuju-setuju saja. Bahkan suatu waktu seorang kompasianer --sebut saja Syahrul Chelsky---mengatakan dalam sebuah artikelnya (ini) bahwa saya itu (dimatanya dan mungkin menjadi penilaian yang lain juga) begini:
"Selain itu dirinya juga tidak jarang mengisi rubrik Fiksiana. Tentang patah hati atau kekecewaan,"
Ya, saya juga sepakat, sangat.
Namun, bagaimana jika saya lemparkan pertanyaan begini: Kalau nulis tentang galau apa artinya penulisnya juga? Hayo. Sebagai yang nulis, jawaban saya bisa duwaaa~~ ya bisa ya tidak.
Ya bisa. Hanya saja kalau terlalu galau, saya justru tidak bisa menulis dan memang tidak ingin menulis. Saya lebih suka meratapi sambil rebahan, lalu menangis---semalaman. Halah-halah.
Nah, setelah masa-masa kritis itu lewat, saya baru bisa menuliskan apa yang saya rasakan. Mengambarkan perasaan yang saya alami dengan kata-kata, dengan diksi yang kiranya pas dan enak jika dibaca berulang-ulang.
Semacam ritual mendaur ulang perasaan yang sebenarnya tentang hati yang luluh dan berantakan agar lebih nyaman dikenang. HAHA.
...dan fiksi mampu melakukannya. Mengubah yang patah jadi indah.
Tetapi Tidak Semua adalah Kenyataan
Bapak pernah bilang begini, "Bapak kalau bikin fiksi nggak bisa kayak kamu, khayalan!"
Bapak benar.
Jawabannya kalau begini jadi ya tidak. Tidak semua yang saya tulis terutama fiksi itu adalah berdasakan kenyataan, pengalaman. Walau bisa jadi hampir 90.000000009 persen datang dari yang saya rasakan sendiri. Sisanya? Saya dapat dari faktor luar,entah dalam bentuk curhatan seseorang atau bahkan dari kutipan-kutipan yang saya temukan ketika berselancar di dunia maya.
Ya. Tidak jarang, pikiran saya untuk membuat -yang saya bilang- fiksi itu datang dari membaca kutipan yang dikembangkan saja, kok. Mengenai cara mengembangkannya, saya punya jurus yang lumayan ampuh yaitu dengan memilih diksi dari KBBI.
Dengan bantuan dari KBBI yang saya sengaja pasang di perangkat android atau dari versi web-lah, saya banyak terbantu dalam meramu. Membuat saya juga makin banyak tahu, ternyata kata-kata dalam bahasa Indonesia masih banyak yang belum saya dengar, masih baru dan kokya luchuuu. Cara ini barangkali bisa juga kamu tiru. Anggap saja ini tips dari penulis fiksi yang banyak curhatnya.
Patah Hati yang Selalu Laku
Seperti lagu-lagu Didi Kempot yang banyak bercerita tentang patah hati, saya jadi ingin benar-benar mengikuti jejaknya. Bukan karena minta terus 'disakiti', namun patah hati memang tidak ada matinya
...dan laku.
Toh untuk mengalami patah hati kita tidak harus dengan didahului jatuh cinta. Terkadang tanpa perlu merasakan jatuh cinta, seperti mendengarkan lagu-lagu sedih juga bisa munculkan rasanya. Setidaknya itulah perlunya keterampilan pintar mengkhayal.
Jadi, sudah tahu sekarang jawaban: apakah menulis galau juga berarti penulisnya juga?
Jangan salah, bisa jadi si penulis tidak benar sedang galau tetapi memang sengaja agar membuatmu menjadi galau~~~ Aihh. Oh ya, untukmu yang ingin menulis aliran galau juga jangan menunda-nunda, apalagi takut disangka. Ingat sebaik-baiknya menyembunyikan perasaan adalah penulis. Jadi bodo amat ajhaa!
Sekalian promosi nich, jika tak cukup dengan kata-kata, silakan singgahi Instagram saya. Di sanalah saya sedang berusaha untuk juga membunyikannya (instagram: listhiahr). Yey! #eehh
Bilang aja, nanti di folbeeekkk.
Salam,
Listhia H. Rahman
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI