"Nggak Bu Guru, saya disini cuma mengantarkan saja. Kemarin sudah dapat"
Begitu polosnya murid Ibu,ya. Saya yang mendengarkan cerita tersebut sampai tidak menyangka. Ternyata di zaman sekarang masih ada anak-anak yang keluguannya masih tertanam dalam jiwa. Hihi. Kocak.
"Atau.... Jangan-jangan adek ini gak enak, karena dia sudah yang mengajak yang lain agar dapat sesuatu?", batin saya sering jail.
Perlu Nggak Sih?
Kalau saya sih yes. Karena pandangan saya soal salam tempel ini bukan mengajar anak untuk jadi orang yang matrelialistis, namun ada pembelajaran penting juga disana yaitu soal berbagi.
Ingat, anak-anak adalah peniru yang ulung, harapannya apa yang pernah mereka rasakan ketika kecil ini bisa dilakukan juga ketika mereka dewasa nanti. Bahwa boleh saja hari ini mereka banyak diberi, tetapi harapannya nanti semoga kelak ia juga akan memberi. Mencontoh dari orang tuanya dulu atau tetua lainnya.
Tetapi kembali lagi, perlu atau tidaknya memberi salam tempel ini adalah kewenangan masing-masing orang,kok. Sifatnya tidak memaksa tetapi kadang emang kondisi yang maksain #eh.
Yang utama dan yang terpenting adalah keikhlasan. Kalau tidak ikhlas, siap-siap saja yang didapat hanya dompet yang menipis. Juga jangan sampai salam tempelmu hanya ingin dibuat pamer atau riya' demi label sang dermawan lebaran yang berharap sanjungan.
Yang membahagiakan selain menyantap ketupat dan sayur opor adalah mendapatimu juga. Yang nggak bahagia, silakan boleh dialihkan kemari. Mahasiswa mau tingkat akhir cyint, demi kelancaran studi...
Salam,
Listhia H Rahman