Kalau disuruh mengingat-ingat bagaimana cerita masa kecil di Bulan Ramadan, ada banyak sekali yang berkesan. Apalagi kan saya memang belum lama meninggalkan dunia bahagia itu, baru beberapa tahun saja kok.Berapa hayo? #haha
Saya bersyukur, di masa-masa kecil saya pernah melewati bulan Ramadan dengan penuh suka cita dan banyak cerita. Terlebih tidak hanya saya sendiri yang melewatinya. Sewaktu saya masih kecil saya ditemani beberapa teman-teman sebaya yang lainnya juga, yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit, di RT saya saja ada lebih dari empat anak.
Ya, kalau berbicara masa kecil di bulan Ramadan, saya tidak bisa melepaskan mereka (baca:teman-teman), karena mereka adalah bagian yang turut membuat Ramadan saya menjadi kenangan manis dan tak mudah dilupakan.
Masjid At-taqwa --masjid yang ada diperumahan kami- adalah saksi saya dan teman-teman menghabiskan Ramadan di masa kecil. Saksi dimana kami banyak melakukan kekhilafan ketika Ramadan tiba. Saya ingat sekali --saya rasa teman-teman saya juga---pernah suatu waktu di bulan Ramadan kesekian (atau malah setiap Ramadan) kena marah atau bukan marah sih, mungkin lebih ke diberi nasihat oleh pak ustaz karena mengucap kata 'amin' setelah Al-Fatihah terlalu panjang. Ya, namanya juga anak kecil, kan.
Lagi, saat tarawih disaat orang-orang dewasa khusyu' menjalankan ibadah, saya dan teman-teman justru pernah malah jadi iseng. Iseng dengan menalikan kain mukena antar teman yang lain. Entah tujuannya apa waktu itu. Lagi-lagi, namanya juga anak kecil,kan. Nggak mau diem, susah dibenerin. HAHA.
Demi berburu tanda tangan kami rela..
Biarlah kekhilafan yang pernah kami lakukan dulu dikenang saja, bukan untuk diulang. Cerita soal Ramadan semasa kecil masih ada lagi yang ingin saya ceritakan. Soal kesibukan yang muncul tiap kali Ramadan datang, kesibukan yang kalau dipikir sekarang "kok sampai segitunya". Kesibukan itu bernama berburu tanda tangan penceramah. HAHA.
Buku bersampul hijau bergambar masjid, pernah menjadi bagian yang tak boleh jadi ditinggalkan di masa kecil saya dulu. Buku amalan bulan Ramadan yang dibagi dari sekolahan saya dan juga sekolah teman-teman yang lain. Ya, hampir sebagian besar anak-anak seusia saya dulu membawa buku sakti itu tiap kali ke masjid, terutama ketika tarawih, dimana pada tarawih ini kami ditugaskan untuk menyimak setiap kultum (kuliah tujuh menit)-nya. Menyimak dengan mencatat poin penting lalu meminta tanda tangan penceramah. Yang terakhir selalu bikin greget sih.
Ada tiga puluh kolom dibuku tersebut, yang artinya setiap hari kami harus mengisi satu sampai Ramadan selesai. Tetapi namanya anak-anak, kami selalu punya cara agar kolom itu terisi tanpa harus menunggu puasa usai.
Cara normalnya adalah dengan mengikuti kulsub (kuliah subuh), yang waktu itu rasanya amat berat sekali bagi kami. Jangankan kulsub untuk bangun sahur saja susah. Untunglah ada cara lainnya yang bisa dilakukan yaitu dengan mengunjungi mushola dan mengikuti kultumnya .
Jadi gini, perumahan saya ada satu masjid dan satu mushola. Dimana keduanya sama-sama melaksanakan tarawih dan ada kultumnya. Yang membedakan, mushola biasanya lebih cepat selesai dibandingkan dengan masjid. Oleh karena kondisi tersebut,kami punya kesempatan sehari mendapatkan dua sekaligus deh. HAHA.
Tapi nampaknya cara ini memang sedikit tidak praktis, sebab saya pernah menjumpai teman saya dengan idenya yang cemerlang, tanpa harus ke masjid atau mushola. Caranya dengan mendengarkan cermah dari televisi kemudian orang tuanya nanti yang menandatanganinya. Hadeuh.
Ketika bulan Ramadan tiba, bahagia kami sederhana. Salah satunya bisa mengisi penuh kolom tanda tangan sebelum puasa menjadi selesai.
Terlepas dari bagaimana cara mengisi penuh kolom itu, saya suka rindu --tapi banyak gelinya-- sendiri. Ketika membayangkan bagaimana kami pernah berebut tanda tangan penceramah sampai harus berpindah tempat dalam sekali tarawih, sampai pernah juga dengan setengah berlari agar tidak tertinggal. Udah kayak fans rebutan tandatangan artis, kali. Haha.
Malam ini saya diperlihatkan momen yang mirip hanya bukan saya lagi yang melakukannya. Berburu tanda tangan ternyata masih awet sampai sekarang, walau orang yang berebut tidak sebanyak yang pernah saya alami dulu.
Menjadi Bintang Ramadan
Meningat masa Ramadan di masa kecil juga pernah membawa kebanggan bagi saya. Di bulan Ramadan --yang lagi-lagi saya tidak ingat tahunnya kapan-, saya pernah mendapatkan kesempatan untuk merasakan menjadi Bintang Ramadan. Bintang Ramadan ini diberikan kepada anak yang salah satu keriterianya adalah rajin mengaji di masjid. Pun penghargaan ini pernah juga adik saya dapatkan.
Alhamdulilah,yah. Ternyata Ramadan dimasa kecil pernah saya isi dari yang usil sampai bisalah untuk dikatakan menjadi kebanggan orang tua.hihi.
Salam,
Listhia H Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H