Tapi nampaknya cara ini memang sedikit tidak praktis, sebab saya pernah menjumpai teman saya dengan idenya yang cemerlang, tanpa harus ke masjid atau mushola. Caranya dengan mendengarkan cermah dari televisi kemudian orang tuanya nanti yang menandatanganinya. Hadeuh.
Ketika bulan Ramadan tiba, bahagia kami sederhana. Salah satunya bisa mengisi penuh kolom tanda tangan sebelum puasa menjadi selesai.
Terlepas dari bagaimana cara mengisi penuh kolom itu, saya suka rindu --tapi banyak gelinya-- sendiri. Ketika membayangkan bagaimana kami pernah berebut tanda tangan penceramah sampai harus berpindah tempat dalam sekali tarawih, sampai pernah juga dengan setengah berlari agar tidak tertinggal. Udah kayak fans rebutan tandatangan artis, kali. Haha.
Malam ini saya diperlihatkan momen yang mirip hanya bukan saya lagi yang melakukannya. Berburu tanda tangan ternyata masih awet sampai sekarang, walau orang yang berebut tidak sebanyak yang pernah saya alami dulu.
Menjadi Bintang Ramadan
Meningat masa Ramadan di masa kecil juga pernah membawa kebanggan bagi saya. Di bulan Ramadan --yang lagi-lagi saya tidak ingat tahunnya kapan-, saya pernah mendapatkan kesempatan untuk merasakan menjadi Bintang Ramadan. Bintang Ramadan ini diberikan kepada anak yang salah satu keriterianya adalah rajin mengaji di masjid. Pun penghargaan ini pernah juga adik saya dapatkan.
Alhamdulilah,yah. Ternyata Ramadan dimasa kecil pernah saya isi dari yang usil sampai bisalah untuk dikatakan menjadi kebanggan orang tua.hihi.
Salam,
Listhia H Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H