Selagi waktu berada dipihakmu, rayakanlah setiap momen bersama keluargamu. Sebab tidak ada yang tahu, apakah esok, lusa dan hari berikutnya kesempatan itu masih semudah pada awalnya.
Bulan-bulan Ramadan yang sudah terlewat
Rasanya baru kemarin, melihat Ibu bersusah payah membangunkan adik ketika harus sahur. Rasanya baru kemarin, saya dan kakak pergi ke masjid untuk mengaji bersama-sama. Rasanya baru kemarin, saya berbuka puasa dengan bapak ibu juga kakak adik di hadapan makanan yang sama. Rasanya terasa baru kemarin, yang kenyataanya tidak.
Saya jelas tidak bisa lupa, bagaimana bulan-bulan Ramadan yang pernah kami habiskan bersama-sama ketika masih sedang berada dalam satu atap. Suasana bulan Ramadan yang selalu berhasil memancing keramaian saat berebut makanan dikala berbuka maupun santap sahur tiba, lantunan ayat suci Al-Quran yang saling bersahutan sepulang dari masjid dan obrolan-obrolan ringan yang selalu mengisi sudut-sudut rumah kami, tak pernah menjadi sepi.
Ya, ternyata kenangan Ramadan yang sudah terlewat ketika kami masih bisa bersama-sama masih sering terbayang sampai saat ini. Saat dimana waktu memang sudah banyak merubahnya, tidak lagi sama.
Waktu berjalan dan kesibukan yang jadi alasan
Bulan Ramadan tahun ini rasanya makin berbeda. Apalagi ketika takdir dan kesibukan berhasil membagi-bagi kami. Kakak yang sudah menikah, saya masih kuliah dan adik yang kini jauh dari rumah. Tinggal Ibu dan Bapak yang tersisa, dari berlima jadi berdua.
Rindu. Iya, saya selalu merindukan momen itu bisa terulang lagi, berkumpul bersama. Apalagi jika saya menyadari saya juga sedang merasa sendiri disini, di kota orang.
Saya sadar mungkin kini momen itu akan sulit terealisasikan sekarang.Melihat keadaan kakak yang jauh, bahkan di luar pulau, jelas membuat ia tidak bisa sebentar-sebentar pulang. Pun adik yang sudah tidak bisa sebebas hari-harinya dulu, punya aturan. Hanya saya, yang meski kuliah tetapi bisa leluasa pulang kalau tidak ada jadwal. Pulang ke rumah menemani Ibu dan Bapak, pulang yang setidaknya bisa menebus kesepian mereka karena ditinggal pergi anak-anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa bersama kesibukan yang menyertainya.
"Tenang Pak,Bu..sesibuk apapun saya disini, jika ada kesempatan saya akan berusaha pulang"
Kapan kita bisa berkumpul,lagi?
Saya iri pada mereka yang bisa kapan saja berkumpul dengan keluarganya. Sedangkan saya, di bulan Puasa atau bahkan lebaran ini pun rasanya tidak bisa , jadi sulit. Meski adik mendapat cuti, saya sudah mendapat libur semesteran, sayang kakak harus tetap berada di tempat tinggalnya. Kami hanya jadi berempat, karena menjadi lima seperti dulu tidak lagi mudah.
Ya, ternyata begini rasanya semakin menjadi dewasa, kita tumbuh bersama kesibukan dan tanggung jawab yang harus diemban.
Tidak saya tidak menyalahkan waktu, kesibukan apalagi takdir. Justru saya berterima kasih kepada kepada waktu, yang pernah berbaik hati memberikan kami ruang untuk bersama dan merasakan hangatnya keluarga. Kepada kesibukan, yang meski terkadang membuat jenuh tetapi mengajarkan untuk pintar memanfaatkan waktu yang ada jika ia tidak ada.
Bulan Ramadan ini memang kita tidak bisa bersama-sama. Namun saling berjauhan bukan berarti saling melupakan,kan? Dalam doa yang sama-sama kita panjatkan, kita bisa bertemu disana.Jauh dimata dekat dihati, seperti itulah cinta kami diawetkan.
Hari ini, kisah paling romantis bukan lagi cerita-cerita soal putri yang diselamatkan pangeran berkuda, tetapi cukup dengan mengisahkan keluarga kami juga hampir sama so sweet-nya! Terima kasih kepada dia yang bernama teknologi, setidaknya rindu ini bisa diatasi dalam bentuk gambar atau suara.
HAHA.
Salam,
Listhia H Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H