Terlepas dari susahnya saya bangun sahur ketika di perantauan, yang jelas terasa adalah rasa kebersamaannya seperti menjadi satu keluarga.
Malam sebelum tidur, biasanya jadi waktu kami berdiskusi. Berdiskusi atau sekadar mengobrol soal sahur dengan apa. Pilihannya sebenarnya dua saja, memasak atau membeli. Jika memasak, masak apa? Kalau beli, beli apa dan dimana?
Oh iya, meski masing-masing kami memiliki penanak nasi (rice cooker), di Bulan puasa biasanya kami jadi kompak untuk membuat di tempat yang muat paling banyak saja. Selain sebagai cara untuk menghemat juga mengantisipasi, antisipasi daripada nanti ada nasi yang terbuang sia-sia karena tidak termakan. So sweeet ngga tuh?
Ketika Puasa di Perantauan dirindukan!
Menariknya. Walau kelihatannya berat berpuasa di perantauan karena harus melakukan apa-apa sendiri, tanpa orang tua. Nyatanya beberapa teman saya yang sudah tak merantau lagi merindukan masa-masa itu.
"Kangen puasa di kosan",katanya.
HAHA.
Entah benar atau tidak, ucapan ini mungkin berkomposisi 1 persen kangen sisanya menenangkan saya yang sedang kembali merasakan puasa di perantauan, kosan.
Kalau sahurmu di perantauan bagaimana?Seru jugakan?
Nikmati sajalah, tetap fokus ibadah,ya.
Salam,