Kalau Dilan sudah lulus sekolah dan melanjutkan kuliah di luar daerah. Mungkin dia juga akan mengatakan yang berat bukan cuma rindu Milea, tetapi ketika harus sahur diperantauan -tertanda anak kosan
Suka duka Puasa jauh dari orang tua
Anak kos memang punya sejuta cerita. Seperti halnya merasakan momen ketika harus berpuasa dan jauh dari orang tua. Sebab diwaktu ini akan banyak perubahan yang begitu menyesakan kalau dirasa-rasa, seperti yang biasanya sahur ada yang membangunkan,jadi harus bangun sendiri bagaimanapun caranya ; yang biasanya bangun sahur sudah disediakan, harus cari cara bagaimana mendapatkan makan entah membeli atau memasaknya; yang tadinya tidak perlu khawatir memikirkan buka puasa dengan apa, mau tak mau jadi harus cari demi mempertahakan kehidupannya, eh mencari sendiri maksudnya. HAHA.
Pun yang saya rasakan juga terlebih pada masa-masa awal menjadi anak perantauan, anak kosan gitu.
Sekitar enam tahun yang lalu adalah awal dimana saya resmi disebut anak kosan. Anak kosan yang belum tahu banyak soal hidup sendiri terlebih ketika harus menemui puasa di kota yang baru dan belum pandai beradaptasi. Nampaknya saya benar-benar masih wagu (lebih ke polos banget sih). Untunglah, fase-fase wagu-nya menghadapi puasa sendiri bukan cuma jadi urusan saya sendiri, tetapi kebanyakan juga terjadi pada mereka yang juga baru pertama kali. #caritemenbiarnggakngenes
Ketika sahur mendekatkan kami jadi keluarga
Saya ingat sekali diantara penghuni kosan waktu itu saya adalah orang yang paling susah dibangunkan. Kebo. Waktu tidur saya yang suka hampir melewati tengah malam barangkali jadi penyebabnya. Ya, dulu (sampai sekarang juga sih) saya sudah sering begadang atau kalau bukan begadang bisa juga ngepas ada kegiatan di luar yang mengharuskan saya baru pulang malam.
Mengingat kondisi tersebut, jika bulan puasa tiba maka saya tidak pernah lupa untuk meminta dibangunkan bagaimanapun caranya.Apalagi letak kamar saya yang tersendiri,di pojokkan lagi.
Emang nggak pakai alarm?
Nggak ngefek. Saya juga menggunakan alarm, tetapi apa daya. Ternyata cara paling ampuh membangunkan saya bukan dengan bunyi-bunyian, melainkan dipegang! HAHA. Oleh sebab itu jugalah, di bulan puasa biasanya saya tidak mengunci kamar saya dari dalam agar teman-teman kos bisa leluasa membangunkan saya dengan cara mereka. Yang saya ingat, ada momen dimana katanya saya sempat diseret di tempat tidur tapi tidak terbangun juga. #eh
Sahur menjadikan kami menjadi kompak seperti keluarga
Terlepas dari susahnya saya bangun sahur ketika di perantauan, yang jelas terasa adalah rasa kebersamaannya seperti menjadi satu keluarga.
Malam sebelum tidur, biasanya jadi waktu kami berdiskusi. Berdiskusi atau sekadar mengobrol soal sahur dengan apa. Pilihannya sebenarnya dua saja, memasak atau membeli. Jika memasak, masak apa? Kalau beli, beli apa dan dimana?
Oh iya, meski masing-masing kami memiliki penanak nasi (rice cooker), di Bulan puasa biasanya kami jadi kompak untuk membuat di tempat yang muat paling banyak saja. Selain sebagai cara untuk menghemat juga mengantisipasi, antisipasi daripada nanti ada nasi yang terbuang sia-sia karena tidak termakan. So sweeet ngga tuh?
Ketika Puasa di Perantauan dirindukan!
Menariknya. Walau kelihatannya berat berpuasa di perantauan karena harus melakukan apa-apa sendiri, tanpa orang tua. Nyatanya beberapa teman saya yang sudah tak merantau lagi merindukan masa-masa itu.
"Kangen puasa di kosan",katanya.
HAHA.
Entah benar atau tidak, ucapan ini mungkin berkomposisi 1 persen kangen sisanya menenangkan saya yang sedang kembali merasakan puasa di perantauan, kosan.
Kalau sahurmu di perantauan bagaimana?Seru jugakan?
Nikmati sajalah, tetap fokus ibadah,ya.
Salam,
Listhia H Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H