Lebih baik sekarang, daripada tidak sama sekali dan benar-benar menyesal karena tidak belajar dan melupakan
Sedikit Cerita...
Empat bulan belakangan akhirnya salah satu tujuan saya terealisasi .Tujuan yang juga menjadi alasan mengapa saya menjadikan kota ini sebagai pelabuhan berikutnya setelah Semarang. Ya, akhirnya saya bergabung di sebuah sanggar tari di kota Jogja- yang pada awalnya saya juga belum menentukan akan melabuhkan diri ini dimana--.
Diantara banyaknya pilihan sanggar yang bertebaran, saya menjatuhkan pada sebuah sanggar yang tidak terlalu jauh dari kosan , sekitar 6 kilometer saja. Alasan lain yang mendukung juga karena waktu belajar di sanggar yang saya rasa cocok dengan jadwal saya yang tidak bisa diprediksi.
Meski sudah terhitung selama empat bulan bergabung, nyatanya saya bukanlah siswa yang bisa dibilang rajin. Dalam sebulan, dua kali datang dari empat kali jadwal yang sudah ditentukan, bagi saya sudah "Alhamdulilah". Alasannya memang sangat klasik, kesibukan kuliah saya dan seperti yang sudah saya katakan yaitu jadwal kuliah saya memang tidak bisa diprediksi, berubah setiap minggu.Apalagi jadwal hari yang saya pilih memang hari dimana menjadi padat adalah wajar, Senin. Bahkan saking sering bolong (maksudnya tidak datang), Mbak pelatih pernah mengatakan saya ini "nyempil", terselip. Hehe.
Untunglah, selama empat bulan pembelajaran dan sampai tiba waktu ujian, materi tari yang diajarkan bisa saya ikuti dan selesaikan. Walau beberapa gerakan yang diajarkan sewaktu saya tidak datang, saya rasakan sendiri masih wagu, masih sering mendapat koreksi. Dan benar saja kekhawatiran saya, sewaktu ujian dua minggu lalu beberapa gerakan yang terekam di video saya amati memang ada yang tidak sesuai hitungan. Maap.
Usia (yang tidak lagi) Imut
Terlepas dari proses latihan, ada yang ternyata menarik juga untuk dibicarakan. Usia teman-teman saya di sanggar.
Ternyata usia saya memang tidak lagi bisa dikatakan imut lagi, walaupun kalau mau dinilai secara fisik sebenarnya tidak terlihat juga. Masih pantas dikatakan seumuran mereka-mereka yang ternyata sangat muda, kelahiran 2000-an. #ngarep Ya, sebenarnya kaget saya itu tidak perlu, sebab jelas dalam syarat untuk bergabung di sanggar tidak ada batas usia. Hanya memang dibedakan untuk kelas-kelasnya saja.
Usia ini jugalah yang sempat membuat saya minder. Minder dalam artian "kok saya gak punya temen seumuran,ya". HAHA. Aplagi setelah didata, ternyata di kelas yang saya ambil --tari jawa klasik- ada yang masih duduk dibangku putih biru. Ampun, muda sekali jadi malu ngitung umur.
Untungnya, minder itu tidak lalu membuat saya tidak berangkat dan berhenti. Sebab ada sisi postifnya juga saya berada diposisi seperti ini yaitu dari mereka yang muda bingits, saya seharusnya lebih semangat. #gayakkkk Untungnya lagi, semakin banyak waktu saya habiskan disini, fakta-fakta lain lambat laun terungkap. Ternyata saya tidak benar-benar sendiri, masih ada juga yang seumuran atau yang lebih membuat salut bahkan ada yang usianya diatas saya,mungkin cukup jauh beberapa tahun. #nyaritemenyeteteup
Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar
Sering orang mengira, saya sudah pandai menari. Padahal, belum sepenuhnya, belum ada apa-apanya. Ya, saya masih berproses, belajar. Memang sejak kecil, dunia tari sudah saya kenal dan panggung sudah bukan jadi hal yang asing. Namun, jika dilihat perjalanan saya menari, tidak selamanya proses belajar saya langgeng.
Saya ingat, pertama kali masuk sanggar adalah diusia sekolah dasar , kelas satu sampai lima. Setelah itu, dimasa seragam putih biru dan abu, saya tidak lagi nyanggar dan hanya mengandalkan kegiatan ekstrakulikuler saja. Ya gimana ya, di daerah saya tinggal jumlahnya juga masih sangat jarang sih. Hal yang kemudian pernah membuat saya berpikir untuk ke jogja suatu hari nanti, dan hari ini saya benar-benar di Jogja.
Memasuki kuliah, saya kembali dekat dengan menari. Apalagi setelah bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa, masa-masa kejayaan, pentas sana-sini saya cicipi #halah. Proses belajar menari saya juga bisa berkembang berkat bimbingan kakak-kakak juga adik-adik yang ternyata sebelunya sudah banyak belajar di sanggar.
Ya...
Hari ini, setelah terakhir terdaftar di sanggar di sekolah dasar, akhirnya saya resmi kembali. Bergabung di sanggar tari. Kembali belajar, kembali berproses, kembali menari dengan benar. Saya juga kembali beruntung, sebab tidak hanya dari faktor lingkungan juga didukung dari banyak orang-orang disekitar. Jadi teringat perkataan seorang dosen, "Bersyukur ya Lis, disini bakatmu bisa tersalurkan!"
Ah. Iya, saya makin jatuh cinta. Sebab disini kesempatan tampil menari masih bisa saya rasakan juga. Bulan kemarin saja ada tiga. Jadi wajar, kalau tulisan bulan lalu tidak serajin bulan biasanya. #aelahalesan
Menarilah saja sampai lupa usiamu berapa
Salam,
Listhia H Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H