Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Anggota Keluarga Bukan Sekadar Teman di Media Sosial

17 Agustus 2017   22:28 Diperbarui: 20 Agustus 2017   15:24 2059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (http://www.nassermohamud.com)

Kalau ada peringkat untuk penguna media sosial di keluarga saya, sepertinya saya harus mengaku bahwa saya ada di urutan lima, urutan yang ada paling buntut.

Keberadaan media sosial di lingkup keluarga saya bukanlah suatu yang asing, apalagi jadi dilarang. Untuk itu maka  tidak heran, jikalau tiap anggota keluarga saya tidak ada yang tidak memiliki dan tidak menggunakannya. Bahkan kalau dibandingkan soal pengunaannya, saya barangkali jadi yang berada diurutan belakang. Bukan, bukan saya kudet atau kurang update, melainkan saya memang membatasi penggunaan media sosial yang sekiranya perlu saja.

Ya,untuk pengunaan media sosial nyatanya saya bisa dikalahkan orang tua saya sendiri, yang usianya jelas jauh berbeda. Bayangkan saja, ketika saya masih asyik berbalas chat cukup lewat whatsapp, bapak ternyata tidak cukup dengannya, karena suatu waktu bapak pernah menyuruh saya memasangkan aplikasi telegram, bukan hanya di smartphone namun juga laptop miliknya.  Begitupula dengan Mama, ketika saya masih sibuk membuat status facebook, Mama ternyata sudah asyik stalking foto-foto di instagram aja, yang saya sendiri tidak memilikinya.HAHA.

Mau tidak mau, saya memang harus saya akui, bahwa orangtua saya sendiri ternyata jauh lebih banyak memiliki media sosial yang kekinian. Selamat ya Pah,Mah!

Oya, keluarga saya terdiri dari lima. Ada Bapak,Mama,Kakak,Saya dan juga Adik. Tidak seperti saya, kakak dan adik saya adalah mereka yang termasuk pada generasi masa kini yang memanfaatkan secara maksimal semua media sosial yang ada. Terutama sih kakak saya, sepertinya semua jenis media sosial punya deh. Jadi kalau diurutkan, peringkat  pengguna media sosial di keluarga dari satu sampai lima berturut-turut jatuh pada Kakak, Adik, Bapak, Mama dan baru saya. Hiks!tak apalah. 

Bagi Kami, Media Sosial Ibarat "Lem" Jadi Perekat

Jarak yang tidak lagi dekat, membuat media sosial ibarat jadi perekat antar anggota keluarga saya. Karena kenyataannya hari ini memang masing-masing dari kami sering jadi jauh ; saya sedang lanjut studi di Jogja, Kakak yang kini sudah berkeluarga tinggal di Balikpapan, Adik sekarang sedang berjuang di Magelang, Bapak bersama Mama namun sering medapat  dinas luar kota dan luar negeri , dan tinggallah  Mama yang sering menjaga rumah sendirian di Temanggung.

Whatsapp dan Facebook, adalah dua media sosial yang sering kami gunakan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga. Terutama Whatsappsih, sampai-sampai kami juga membuat grup tersendiri yang berisikan seluruh anggota keluarga agar semua bisa tahu masing-masing kabarnya dan menerima informasi yang sama pula. Bukan hanya keluarga saya sebenarnya, bahkan saudara- saudara pun juga sama halnya, jadi ikut-ikut punya grup whatsapp. Rame,pokoknya!

Seperti pada pembicaraan keseharian pada umumnya, begitupula yang sering kami bicarakan di media sosial seperti whatsapp. Seperti menanyakan sedang apa, sudah makan apa belum, besok kegiatannya apa, atau sedang dimana. Pertanyaan soal hal-hal yang terlihat 'receh' namun saat jadi berjarak pertanyaan semcam itu dari anggota keluarga rasanya jadi amat mahal karena ada perhatiannya.Terlebih saat ini, Bapak dan Mama sedang mudah rindu kepada cucu pertamanya yang jauh disana, tinggal bersama kakak. Rasanya tiada hari tanpa foto atau video sang cucu yang dikirim kakak di medsosnya, yang jadi obat rindu  lumayan ampuh untuk yang saling jauh.

Terkadang jika pertanyaan macam itu sudah terjawab, kami juga sering membahas yang tidak perlu seperti membahas lelucon, gosip-gosip terkini, pertanyaan gak bermutu atau membagikan cerita-cerita inspiratif bak mario teguh.

 Ya, tanpa perlu ada peringatan baik tertulis mau ucapan, antar anggota keluarga sudah saling paham apa-apa yang memang laik dibagi atau memang harus disimpan sendiri. Kami tidak pernah membahas isu-isu yang dapat menyebabkan kerugian terutama agar sebagai anak, saya tetap terdaftar dalam kartu keluarga. Hahaha. 

Seiring berkembangnya teknologi komunikasi, kami rasakan dan sadari betul bahwa kami memang jadi lebih sering berkomunikasi lewat media sosial.

Karena Anggota Keluarga Bukan Sekadar Menjadi "Teman" di Media Sosial

Pernah ada masa, dimana saya merasa tidak nyaman berteman dengan orangtua saya sendiri di media sosial. Pernah nyesel gitu mengkonfirmasi mereka dan menjadikan mereka salah satu daftar teman. Haha, jahat ya, mendekati durhaka gak sih? Tapi masa-masa itu sudah terlewati, sudah lama tak ingat lagi.

Jadi, ceritanya saya memang selalu lebih dahulu mempunyai media sosial (medsos) seperti facebook ataupun whatsapp, dan orangtua --Bapak dan Mama- baru menyusul kemudian. Biasanya kalau tidak saya ya kakak yang membuatkan mereka mereka akun-akun medsos tersebut. Dan seperti biasa, anggota keluarga lain seperti saya,kakak dan adik adalah teman pertama mereka. Jadilah, rasanya waktu itu mau nolak juga gak tega dong. Masa orang tua sendiri di tolak?

Pada awalnya saya pribadi merasa ada rasa kurang nyaman, karena rasanya saya seperti di buntuti. Walau Bapak atau Mama jarang berkomentar, tapi saya tahu diam-diam mereka selalu mengecek media sosial mereka, stalking gitulah.

 Ya, karena meski tidak langsung berkomentar disana tidak jarang mereka malah berkomentar secara langsung dengan saya soal apa-apa yang saya bagi baik foto maupun status, bahkan bisa juga berkomentar dengan teman-teman medsos saya dan jadi ikut hafal nama-namanya.  Sering juga  memilih untuk tetap diam-diam tapi sebenarnya sudah tahu karena saya pernah memergokinya sendiri, melihat dengan mata sendiri orangtuasaya sedang asyik buka medsos anaknya yaitu saya. Mau kesel, tapi yasudah.

Begitupula nasib setiap tulisan yang saya tulis di blog (yang juga termasuk medsos) keroyokan Kompasiana ini. Meski orangtua tidak (belum) memiliki akun disini, tapi mereka tahu bahwa saya sering menulis disana. Sering sekali saya melihat Bapak (terutama) sedang membaca tulisan yang saya tulis, hampir semua sih sepertinya sudah beliau baca.

Terharunya lagi, walau tulisan-tulisan tersebut  sudah saya upayakan untuk menjadi diam-diam dengan tidak selalu saya bagi di medsos lain seperti facebook, beliau ternyata berinisiatif mengeceknya langsung ke akun yang saya miliki lewat mbah google. Kok bisa tahu? Karena pernah saya iseng cek, ada nama saya di history. Ciee. Makannya saya suka sebal jikalau Bapak jadi ikut-ikut, "Mana kok gak ada tulisan baru?". Kira-kira begitulah akibat keberadaan orangtua apabila masuk  jadi temanmu di medsos dan atau tahu medsosmu. Kamu berani gak tuh?

Menjadikan orangtua menjadi teman di medsos...

Memang ngeri-ngeri gitu. Tapi sekarang saya justru jadi bersyukur dan tidak ada niatan lagi untuk menghapus atau yang lebih parah memblokir mereka. Pasalnya keberadaan mereka di medsos ternyata memang bukan sekadar menjadi teman semata. Bagi saya sendiri, adanya mereka di medsos yang saya miliki menjadi salah satu alat kontrol diri. Ya, saya malah senang, karena hari ini medsos saya berisikan jejak digital yang positif.

Apalagi saat ini medsos bukan cuma berisi Bapak dan Mama,  medsos saya pun sudah terhubung dengan saudara-saudara lain seperti tante dan om, yang makin membuat saya harus lebih bijaksana dalam bermedia sosial. Malu ah.

Ya, karena keberadaan orangtua,kakak adik dan juga saudara lain membuat saya harus memikirkan terlebih dahulu apa-apa yang harus saya bagi. Paling tidak, karena ada mereka saya jadi tidak menggunakan kata-kata yang kotor dalam membuat status, harus berpikir ulang ketika mengomentari atau menyukai sesuatu atau tidak mudah membagi informasi yang bisa mengundang kontroversi #halah. Pokoknya semenjak mereka ada dalam lingkaran medsos saya, saya harus bisa membagi-bagi apa yang memang laik dibagi.

Gak bebas dong kalau gitu? Bebas tapi tetap terkontrol sih. Karena medsos adalah milik kita, kita boleh bebas apa saja. Namun juga harus diingat bahwa bukan cuma kita satu-satunya yang bermain medsos itu. Bagi saya keluarga adalah pengingat untuk berada di jalan medsos yang lurus.

***

Di keluarga saya, sekali lagi, media sosial bukanlah suatu yang ditakuti apalagi lalu jadi dihindari. Karena saat dia ada, membuat rindu jadi bisa dikatakan saat itu juga.

Karena hari ini tidak seperti dua puluh tahun lalu, dimana kami masih berada dalam satu atap, saling tatap dan bercakap-cakap.  Hari ini kami harus menerima 'anggota keluarga' baru bernama jarak dan memanfaatkan 'anggota keluarga' lainnya bernama media sosial untuk membantu mempertahankan 'rasa*'nya.

Media sosial tidak jahat, yang jahat adalah pengunanya. Seperti pisau, apabila dipakai seorang koki tentunya berfaedah tapi jika digunakan penjahat, nasibnya jadi berbeda. Salahkah si pisau? Tentu tidak, tapi kembali lagi pada siapa penggunanya.

Terima kasih, karena hadirmu setidaknya kami bisa melupakan sejenak soal jarak berkilo-kilometer itu.

Salam,

Listhia H Rahman

*kebersamaan

Facebook

Twitter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun