Shania benci mengingat. Tepat seminggu lalu, saat tak ada firasat apapun yang datang dari mimpi atau pertanda ganjil di sekitarnya, pesan masuk itu juga datang. Bukan Ardha. Bukan. Pesan yang sempat getarkan hatinya juga, yang tiba-tiba datang menanyakan kabar, yang sempat juga tawarkan pertemuan setelah musim ke lima itu menandaskan.
Shania benci mengingat. Lama ia pandangi gambar yang seminggu lalu sempat muncul diberandanya. Laki-laki dengan kaca mata hitam, duduk dengan santainya. Tak ada orang lain, apalagi perempuan yang ia bisa nobatkan sebagai pasangan barunya.
Shania benci mengingat. Laki-laki dengan jas hitam, dengan senyum yang hanya ia tarik masing-masing dua senti tuk memperlihatkan bahwa ia sedang cukup bahagia. Sembari dua buku kecil, ia pamerkan. Tak ada orang lain selain dirinya yang jadi fokus utama. Tak ada perempuan. Ya, tak ada juga perempuan.
Kemana perempuan yang baru saja ia jadikan istri?, Shania jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri, lagi. Tetapi kali ini, masa bodoh perempuan mana.
Shania yang benci mengingat, akan jadi suka mengingat ; bahwa laki-laki yang sama itu cukup butuh seminggu kemudian untuk berubah menjadi nama pada undangan sebuah pernikahan.
Undangan yang tak (akan) pernah sampai di rumahnya, dan tak ia harapkan juga untuk ada apalagi datang.
Widyanatha Putra.
Salut untuk keberanianmu.
Kini kau tlah buktikan jadi laki-laki, suami.
Selamat menempuh perjalanan sesungguhnya.
Shania Resti Pramadana