[caption caption="Ilustrasi: eliteweddinglooks.com"][/caption]“Sha, Mantanmu menikah tuh”, bunyi pesan dari Ardha yang tiba-tiba menggetarkan handphone, mungkin getar juga sampai ke jantungnya.
Shania benci mengingat. Tapi mau tak mau ingatan itu harus dirunut ke belakang, masa lalunya. Masa-masa itu, saat beberapa orang pernah ia sediakan tempat di hatinya, yang hanya seperti tamu, urusan selesai (tak selesai) hanya singgah, yang kemudian mau (tak mau) mengorek luka lamanya, yang meski tlah ia lupakan sakitnya namun masih saja berbekas.
Shania is typing...
“Hah? Mantan? Mantan yang mana?”
Tak habis tiga menit, balasan ia lontarkan. Ya, Shania benci mengingat, tak bisa berlama-lama jadinya.
Tak ada balasan.
Ardha nampaknya senang membuat Shania menduga-duga.
Satu menit, dua menit, sepuluh menit, setengah jam. Ardha tak juga merespon. Rasa penasaran yang makin lama makin membuat Shania menjadi-jadi, mempermainkannya. Getaran itu kembali lagi, kini dari jantung ke ponselnya. Sebuah pesan gambar, masuk.
Laki-laki dengan jas hitam, dengan senyum yang hanya ia tarik masing-masing dua senti tuk memperlihatkan bahwa ia sedang cukup bahagia. Sembari dua buku kecil, ia pamerkan. Tak ada orang lain selain dirinya yang jadi fokus utama. Tak ada perempuan.
Kemana perempuan yang baru saja ia jadikan istri?, Shania jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Bukankah ini pernikahan? Ya, pernikahan, buku itu saksinya.