Mohon tunggu...
Lisa Cantik
Lisa Cantik Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tangisan Langit Ibukota

22 Maret 2016   17:49 Diperbarui: 22 Maret 2016   18:03 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siang hari ini, hujan lumayan deras mengguyur Ibu Kota Jakarta, seolah memberi isyarat bahwa alam turut bersedih, berduka dan menangis atas gugurnya prajurit-prajurit terbaik TNI yang menjadi korban jatuhnya helicopter TNI AD di wilayah Poso, dalam rangka melaksanakan tugas negara memerangi radikalisme yang telah menjadi musuh bersama bangsa Indonesia. Saya yang hanya mengikuti kejadian itu melalui pemberitaan media, tidak sanggup membayangkan kesedihan orangtua, isteri dan anak-anak yang ditinggalkan oleh para prajurit kusuma bangsa tersebut. 

Betapa terpukulnya hati para orang tua yang pupus harapan karena putera kesayangan mereka, penerus masa depan mereka justru telah mendahului menghadap sang pencipta. Betapa terguncangnya para isteri dan anak-anak yang akan menghadapi kenyataan hilangnya kebersamaan dan keceriaan yang selama ini mereka jalani sehari-hari bersama suami dan ayah. Kesedihan mereka seharusnya juga menjadi kesedihan masyarakat Indonesia, karena mereka gugur dalam tugas membela kepentingan masyarakat.

Siang hari ini, hujan lumayan deras mengguyur Ibu Kota Jakarta, seolah memberi isyarat bahwa alam turut bersedih, berduka dan menangis atas perilaku anak bangsa yang uncivilized di sisi lain ibukota. Apapun alasannya, demo yang dilakukan oleh sebagian anak negeri yang disorot oleh kamera TV mempertontonkan perilaku yang sulit untuk diterima nalar yang sehat ditengah upaya pemerintah untuk melakukan revolusi mental agar bangsa ini semakin civilized. Sangat menyedihkan memang, 

ketika para prajurit TNI itu mempertaruhkan jiwa raga menegakkan kedaulatan negara ini di tengah ganasnya medan tempur di hutan pegunungan Sulawesi sana, mereka yang berada di jantung republik ini malah merusak tatanan dan menciderai mental yang sedang direvolusi oleh presidennya.

Tidakkah mereka menyadari bahwa mereka hanyalah pion-pion catur yang sedang dimainkan oleh cengkeraman kekar tangan-tangan abstrak yang sedang berebut hadiah ? Tidakkah mereka menyadari bahwa yang mereka rusak dijalanan adalah alat yang dipergunakan oleh saudara-saudara mereka yang lain untuk menghidupi keluarganya? 

Tidakkah mereka menyadari bahwa yang mereka yang diuntungkan dari tindakan anarkhis mereka itu adalah para pemilik modal yang mungkin hanya memikirkan raupan keuntungan besar? Tidakkah mereka menyadari bahwa apa yang dipertontonkan mereka itu sejatinya adalah tingkah laku primitive yang lazim dilakukan masyarakat terbelakang?

Melihat ulah para pendemo di layar TV, kok rasanya kita ini masih hidup di jaman primitif yang jauh dari peradaban modern, dimana banyak permasalahan, walaupun kecil, yang harus diselesaikan dengan kekerasan atau penghancuran. Dalam "peradaban modern" bangsa Indonesia, paradigma sosial seperti ini justru terlihat semakin marak terjadi pasca bergulirnya reformasi 1998,

 dimana tonggak dari era itu sendiri juga di warnai oleh aksi anarkhisme sosial yang cukup memprihatinkan. Ratusan (atau mungkin ribuan?) korban nyawa berjatuhan, pemerintahan dan perekonomian lumpuh, supremasi hukum diinjak-injak dan kehidupan sosial dihantui oleh ketakutan demi ketakutan.

Saya coba mencari istilah yang tepat untuk menggambarkan paradigma sosial ini. Karena melihat gejala sosial ini lebih mirip dengan kehidupan masyarakat primitif, lantas muncul pertanyaan di benak saya, apakah paradigma ini dapat diistilahkan sebagai sebuah "primitivisme"? atau kembalinya norma-norma kehidupan primitif di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern?.

Di wikipedia terdapat istilah Primitivisme, yaitu suatu paham yang menganggap bahwa kehidupan ternyata lebih baik atau lebih bermoral pada tahap-tahap awal umat manusia atau di antara orang-orang primitif (atau di antara anak-anak) dan menjadi semakin buruk seiring dengan perkembangan peradaban (civilization). Paham ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan abadi apakah perkembangan peradaban dan teknologi telah mampu memberi manfaat atau merugikan manusia?. Penganut paham primitivisme cenderung menganggap bahwa kehidupan manusia sebelum berkembangnya peradaban modern lebih mulia daripada manusia beradab.

Ada sebuah istilah lain di laman wikipedia, yaitu "anarcho-primitivism" yang merupakan kritik anarkhis terhadap asal-usul dan kemajuan peradaban. Menurut anarcho-primitivism, pergeseran dari pemburu-pengumpul untuk pertanian pada dasarnya menimbulkan stratifikasi sosial, paksaan, dan keterasingan. Anarcho-primitivist menyarankan untuk kembali ke cara hidup  "non beradab" melalui de-industrialisasi, penghapusan pembagian kerja atau spesialisasi, dan ditinggalkannya organisasi berteknologi skala besar.

Anarcho-primitivism ini kelihatannya cukup relevan untuk digunakan dalam mengistilahkan paradigma sosial masyarakat Indonesia yang masih suka menjalankan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Tetapi kembali lagi, primitivism atau anarcho-primitivism adalah paham yang didasari oleh sebuah kesadaran ilmiah, sementara kondisi kondisi sosial yang terjadi di Indonesia tidaklah didasari oleh kesadaran akan sisi negatif dari sebuah perkembangan peradaban dan teknologi. Di satu sisi kita menghendaki perkembangan peradaban seperti negara-negara lain yang lebih maju, tetapi di sisi yang lain tingkah laku dan moralitas kita masih seringkali "set-back" jauh ke jaman primitif.

Saya melihat hujan yang mengguyur Jakarta pada siang ini sebagai sebuah paradox, disatu sisi saya menangkap isyarat turut bersedihnya alam atas gugurnya 13 putra terbaik bangsa dalam menjalankan tugas, disisi yang berbeda saya melihat tangisan alam atas perilaku primitive-anarkhis yang ditunjukkan oleh anak-anak bangsa lainnya disudut lain ibukota, karena urusan isi periuk.

Akankah langit negeri ini terus menerus menangisi apa yang terjadi dibawahnya? Tidak bisakan kita membuat langit negeri kita cerah, matahari tersenyum dan udara yang sejuk oleh perilaku kita yang civilized ?

Menurut saya, TNI tidak boleh terlalu lama terbawa oleh kesedihan atau kedukaan atas gugurnya para prajurit terbaik mereka, karena sesungguhnya mereka adalah pahlawan yang syahid. TNI harus segera menegakkan kepala, berbangga atas perjuangan, keberanian dan pengabdian yang telah ditunjukkan oleh para prajurit mereka. Terus berjuang memerangi musuh bangsa, dan teladani keberanian yang telah dicontohkan oleh ke-13 prajurit itu. Saya sedikit teringat apa yang disampaikan oleh Kapten Mike Kennedy, 

Komandan Unit Damkar dalam film Ladder 49, pada saat persemayaman Jack Morrison, pahlawan mereka yang gugur demi menyelamatkan nyawa seorang warga yang terjebak dalam kebakaran hebat di sebuah gedung. Kapten Mike menganggap bahwa cara yang paling tepat untuk menghormati kepahlawanan Jack Morrison bukanlah dengan berlama-lama berduka, tetapi segera berdiri tegak dan melanjutkan pengabdian yang disemangati oleh keteladanannya selama masih hidup.

 

Mari kita renungkan bersama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun