Dinamika yang terjadi diorganisasi tempat saya bekerja pada kepemimpinan yang sekarang ini cukup menarik. Dalam kurun waktu 3 bulan ini, pimpinan sudah dua kali mengumpulkan para middle-high level officers untuk menyampaikan kebijakan dan memberikan short term guidance yang harus segera ditindak lanjuti. Beliau mengistilahkannya dengan empat short cut kebijakan, yaitu penguatan fungsi 2 satuan kerja (institusi bawah), penguatan interoperabilitas dan reduksi ego sektoral. Dua point yang terakhir memiliki keterkaitan yang sangat erat satu sama lain.
Disamping itu, dalam forum middle-high tersebut pimpinan juga mendorong para backbones (tulang punggung) organisasi, dalam hal ini middle level officers, untuk lebih berpikir kreatif, inovatif dan progresif, bila perlu radikal (kata beliau) demi membawa perubahan dalam organisasi kearah yang lebih baik. Tinggalkan zona nyaman, tinggalkan rutinitas dan hal-hal yang normatif. Para middle level officers diharapkan berkompetisi unjuk kreatifitas dan inovasi dalam hal kemajuan, dan para high level officers diminta untuk lebih terbuka mengakomodasi dan sekaligus memfasilitasi ide-ide kreatif dari bawahnya.
Sebuah konsep berpikir yang sangat progresif dari seorang pucuk pimpinan di dalam organisasi saya, yang selama ini jarang didengar.
Bicara masalah zona nyaman, saya teringat sebuah cerita bijak tentang seekor rajawali.
Suatu hari seorang Raja mendapatkan hadiah 2 ekor anak rajawali, Raja senang sekali dan selalu memamerkan anak rajawalinya. Raja berpikir, akan bagus sekali jikaraj awali ini dilatih untuk terbang tinggi, tentu lebih indah.Ia memanggil pelatih burung tersohor di negerinya untu melatih 2 rajawali ini. Setelah beberapa bulan, pelatih burung ini melapor kepada Raja, seekor rajawali telah terbang tinggi dan melayang-layang di angkasa. Namun seekor lagi tidak beranjak dari pohonnya sejak hari pertama ia tiba.
Rajapun memanggil semua ahli hewan dan para tabib sakti untuk memeriksa rajawali kesayangannya ini, namun tidak ada yg berhasil untuk “menyembuhkan” dan membuat rajawali ini terbang. Berbagai usaha telah dilakukan tetapi rajawali ini tidak kunjung bergerak dari dahannya.
Kemudian Raja mendapat ide untuk memanggil orang yang biasa “melihat” rajawali. Kemudian ia bertemu dengan petani yang sangat mengenal akan sifat rajawali dan Raja meminta bantuan petani itu. Keesokan harinya ketika Raja mengunjungi rajawalii ni, ia kaget melihat rajawali ini sudah terbang tinggi.
Dengan penuh penasaran Raja bertanya kepada petani, "apa yang telah kamu lakukan sehingga Rajawali tersebut mau terbang tinggi?"
Petani menjawab, “saya hanya memotong cabang pohon yang selama ini dihinggapinya saja yaitu DAHAN yang membuatnya NYAMAN”
Kita dilahirkan untuk sukses seperti seekor Rajawali, kita ditakdirkan untuk terbangt inggi.
Namun, ada yang memegang erat ketakutannya, tidak mau melepaskan ketakutannya dan tidak beranjak dari posisinya. Terkadang kita terlalu memegang zona kenyamanan kita sehingga kita takut dan tidak mau melepaskannya, takut gagal, takut kecewa, takut capek, takut malu, dll.
Satu-satunya cara untuk bisa membumbung tinggi adalah keluar dari zona nyaman. Tidak ada jalan pintas. Hanya ada 2 pilihan : tetap bergantung di dahan selamanya atau membubung ke angkasa.
Ya, ……. Pimpinan saya sedang menginginkan agar para tulang punggung organisasi berani meninggalkan zona nyaman untuk melakukan perubahan agar mampu dengan cepat terbang tinggi.
Sayangnya, gagasan beliau belum juga di respons dengan baik setelah empat bulan berlalu. Para high level officers sepertinya belum berada dalam satu nada dan satu irama. Sebagian besar orang masih terlalu nyaman menikmati rutinitas dan hal-hal normatif yang selama ini mewarnai kehidupan sehari-hari. Terkesan ada ketakutan akan kehilangan privileges apabila meninggalkan zona nyaman yang telah dinikmati selama ini. Perubahan yang diharapkan oleh pimpinan tak kunjung terlihat dilaksanakan oleh para bawahan.
Akhirnya, pimpinan kembali mengumpulkan para middle-high level officers untuk menyampaikan kekecewannya. Pada kesempatan kumpul kedua ini, beliau menyadari betul bahwa kendala utama belum terlaksananya empat kebijakan tersebut adalah masih sangat tingginya ego sektoral dari individu maupun satuan-satuan (institusi) yang ada di bawah.
Karena itu, beliau kemudian menempatkan kebijakan reduksi ego sektoral ini menjadi prioritas untuk segera dilakukan, dan pada akhirnya, apabila itu dapat terwujud, maka penguatan interoperabilitas akan sangat mudah untuk diciptakan, dan penguatan fungsi dua satker (institusi) yang diinginkan juga akan lebih mudah dicapai. Kuncinya adalah kemauan untuk melakukan perubahan sebagaimana motto yang disampaikan oleh pimpinan, ‘’TIDAK ADA YANG TIDAK BISA, YANG HARUS ADA ADALAH MAU ATAU TIDAK UNTUK BERBUAT YANG TERBAIK BAGI KEMAJUAN ORGANISASI.” Ini akan menjadi semakin mudah apabila dimulai dari middle level officers sebagai tulang punggung organisasi yang akan memberikan warna lain bagi organisasi dalam jangka waktu 10 tahun kedepan.
Sebagian orang menanggapi hal ini dengan apriori dan pesimisme, melihatnya seperti sebuah utopia yang sulit untuk dicapai. Namun sebagian yang lain merasa optimis dan melihatnya sebagai sebuah momentum yang tepat untuk melakukan perubahan karena sedang dipimpin oleh sosok pimpinan yang transformasional. Yang berpikir pesimis dan apriori cenderung menganggap bahwa middle level officers ini hanyalah sebagai obyek saja.
Perubahan seharusnya dimulai dari top level atau high level officers yang dianggap selama ini tidak konsisten dan tidak mau berubah. Bagi saya pribadi, sesuai dengan guidance yang diberikan, para middle level officers ini sekarang justru ditempatkan sebagai subyek, sebagai agen perubahan. Memang perubahan itu mungkin belum akan bisa dilihat atau dirasakan dalam waktu satu atau dua tahun kedepan, tetapi dalam jangka yang lebih panjang. Top level atau high level officers hanyalah sebagai fasilitator sekaligus memainkan fungsi kontrol.
Namun, sekali lagi agak disayangkan, dalam organisasi yang rigid dan memiliki kultur hirarkikal patternalistik yang sangat kental, kreatifitas dan inovasi middlel evel officers yang diharapkan oleh pimpinan masih terlalu sering terkendala oleh kurang akomodatifnya para high level officers yang ada diatasnya. Hal ini lebih terkorelasi dengan ego pribadi atau ego status, yang dalam konteks luas juga bisa mengarah kepada ego sektoral. Kondisi itulah yang barangkali membuat sebagian middle level officers merasa pesimis dan aprori terhadap gagasan perubahan yang disampaikan oleh pimpinan.
Ya….. itulah yang terjadi…..
Namun setidaknya, kesadaran akan sisi negatifnya ego sektoral sudah semakin menguat, dan memang perlu segera dilakukan langkah-langkah untuk mereduksinya, agar sasaran yang lebih besar dapat tercapai.
Hanya saja, persoalan eliminasi ego sektoral ini tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena ini akan sangat terkait erat dengan apa yang juga kita kenal sebagai jiwa korsa atau esprit de coprs, dua hal yang substansinya serupa tetapi memiliki spirit yang berbeda. Di satu sisi, sebuah organisasi dituntut untuk memiliki esprit de corps yang kuat diantara anggotanya agar memiliki kebanggaan, sense of belonging, soliditas dan solidaritas serta mempertinggi semangat dalam melaksanakan tugas. Namun disisi yang lain, manakala lingkupnya diperbesar, esprit de corps yang salah implementasinya dapat memicu timbulnya ego sektoral yang kuat sehingga merugikan kepentingan yang lebih besar.
Mari kita coba bahas persoalan ego sektoral ini dengan mengawalinya dari teori Sigmund Freud tentang ego, super ego dan id.
Ego, menurut Freud, adalah keinginan yang terlahir dari diri kita yang ingin diwujudkan pada kehidupan nyata. Kemudian dalam interaksi antar pribadi dalam lingkup sosial, ego yang berisi keinginan murni tersebut selanjutnya akan ‘bertemu’ dulu dengan super ego yang berisi nilai nilai yang hidup di tengah masyarakat, yang berfungsi sebagai filter atas ego. Setelah ego disaring oleh super ego maka pada fase selanjutnya akan termanifestasikan sebagai identitas diri (id).
Dari id inilah akan dapat dilakukan penilaian, apakah hubungan antar manusia sudah cukup seimbang. Jika ego tidak banyak tersaring oleh super ego-- yang pada akhirnya memunculkan id--, maka kepentingan pribadi (individual) akan menjadi lebih dominan tanpa pertimbangan kepentingan bersama (sosial).
Dalam sebuah sistem yang besar, seperti organisasi tempat saya bekerja, dimana terdapat banyak subsistem didalamnya dengan berbagai fungsi, karakter, simbol dan kepentingan yang berbeda, ketika kepentingan sub sistem itu lebih dominan dibandingkan kepentingan sistem yang lebih besar, disitulah muncul apa yang disebut dengan ego sektoral.
Pimpinan saya yang sekarang, melihat sistem yang besar ini sebagai sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, sehingga ketika membicarakan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai oleh sistem, maka semua sub sistem harus mengeliminir kepentingan sub sistem atau ego sektoral nya. Interoperabilitas antar sub sistem harus dibangun dengan kuat sehingga semua upaya yang dilakukan hanya punya satu muara, yaitu mencapai apa yang diharapkan oleh pimpinan sistem yang besar.
Kalau kita mau jujur, kecenderungan kuatnya ego sektoral ini sangat jelas terlihat dalam sistem organisasi yang besar ini. Dari hal-hal yang sangat teknis seperti seragam yang sangat beragam serta warna tutup kepala yang sangat warna-warni menggambarkan ke beragaman dan ke warna warnian yang sulit untuk disatukan. Bahkan ketika mengemban tugas atas nama organisasi yang besar sekalipun, keberagaman dan kewarna warnian masih sangat kental terlihat, seolah-olah berlomba agar seragam atau warna masing-masing yang menjadi pemenangnya.
Belum lagi berbicara pada tataran operasional sub sistem dalam kerangka sistem yang besar, masing-masing memilik klaim bahwa yang berlaku dalam sub sistemnya lah yang paling unggul dan harus diikuti oleh sub sistem yang lain. Mudah-mudahan bhineka tunggal ika tidak dijadikan sebagai pembenaran atas keberagaman dan kewarna warnian ego sektoral ini.
Disisi yang lain terdapat pemahaman, yang juga tidak salah, bahwa kinerja sebuah organisasi atau sub sistem akan maksimal bilamana terdapat kebanggaan dan ikatan yang kuat antar anggotanya dan kesetiaan atau loyalitas pada organisasi atau sub sistem tempatnya bekerja. Inilah yang disebut dengan jiwa korsa atau esprit de corps yang menurut Merriam Webster Dictionary berarti the common spirit existing in the members of a group and inspiring enthusiasm, devotion, and strong regard for the honor of the group.
Disini terlihat sedikit perbedaan spirit antara esprit de corps dengan ego sektoral, dimana yang pertama lebih bersifat positif ke dalam untuk menumbuhkan kebanggaan dan meningkatkan kinerja, sedangkan yang kedua lebih bersifat negatif keluar dalam kerangka interaksi antar sub sistem dalam sistem yang lebih besar.
Jiwa korsa atau esprit de corps tentu saja memiliki nilai positif bagi pengembangan organisasi. Namun manakala ada kepentingan yang lebih besar, maka sudah seharusnya derajat esprit de corps juga ditingkatkan ke level yang lebih besar lagi. Bila tidak, maka yang terjadi adalah ego sektoral dan mustahil untuk bisa mencapai tujuan yang lebih besar. Ibarat campuran air dan minyak, karena sifat dasarnya atau esprit de corps nya tetap berada pada level masing-masing, meskipun campuran tersebut diletakkan dalam satu wadah, maka segera setelah campuran tersebut mengendap masing-masing unsur akan memisahkan diri, yakni air akan tenggelam dan mengisi ruas bagian bawah sementara minyak akan mengapung diatas. Karena air dan minyak merupakan obyek mati, maka perlu ada katalisator yang bisa menyatukan kedua unsur yang berbeda tersebut.
Dalam kerangka organisasi yang berisi obyek hidup dan dinamis, esprit de corps harus dipahami secara kontekstual serta diletakkan secara porsional dan proporsional sesuai kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai.
Kesimpulannya, genderang perubahan telah dibunyikan oleh pimpinan, mari kita satukan nada dan irama untuk menghasilkan harmoni musik yang merdu agar tujuan dan sasaran memajukan organisasi bisa tercapai. Ego sektoral harus diminimalisir dan interoperabilitas harus dimaksimalisir tanpa harus meninggalkan esprit de corps yang telah menjadi karakter kultural dari organisasi kita sebagai pembeda dengan organisasi yang lain. Dan yang lebih penting lagi, seperti kisah rajawali, tinggalkan zona nyaman yang membuat kita malas untuk terbang.
Yuksssss….. mareeeeee…….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H