Mohon tunggu...
Lisa Cantik
Lisa Cantik Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tulisan Pertama

15 Februari 2016   16:26 Diperbarui: 15 Februari 2016   19:01 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian orang menanggapi hal ini dengan apriori dan pesimisme, melihatnya seperti sebuah utopia yang sulit untuk dicapai. Namun sebagian yang lain merasa optimis dan melihatnya sebagai sebuah momentum yang tepat untuk melakukan perubahan karena sedang dipimpin oleh sosok pimpinan yang transformasional. Yang berpikir pesimis dan apriori cenderung menganggap bahwa middle level officers ini hanyalah sebagai obyek saja.

Perubahan seharusnya dimulai dari top level atau high level officers yang dianggap selama ini tidak konsisten dan tidak mau berubah. Bagi saya pribadi, sesuai dengan guidance yang diberikan, para middle level officers ini sekarang justru ditempatkan sebagai subyek, sebagai agen perubahan. Memang perubahan itu mungkin belum akan bisa dilihat atau dirasakan dalam waktu satu atau dua tahun kedepan, tetapi dalam jangka yang lebih panjang. Top level atau high level officers hanyalah sebagai fasilitator sekaligus memainkan fungsi kontrol.

Namun, sekali lagi agak disayangkan, dalam organisasi yang rigid dan memiliki kultur hirarkikal patternalistik yang sangat kental, kreatifitas dan inovasi middlel evel officers yang diharapkan oleh pimpinan masih terlalu sering terkendala oleh kurang akomodatifnya para high level officers yang ada diatasnya. Hal ini lebih terkorelasi dengan ego pribadi atau ego status, yang dalam konteks luas juga bisa mengarah kepada ego sektoral. Kondisi itulah yang barangkali membuat sebagian middle level officers merasa pesimis dan aprori terhadap gagasan perubahan yang disampaikan oleh pimpinan.

Ya….. itulah yang terjadi…..

Namun setidaknya, kesadaran akan sisi negatifnya ego sektoral sudah semakin menguat, dan memang perlu segera dilakukan langkah-langkah untuk mereduksinya, agar sasaran yang lebih besar dapat tercapai.

Hanya saja, persoalan eliminasi ego sektoral ini tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena ini akan sangat terkait erat dengan apa yang juga kita kenal sebagai jiwa korsa atau esprit de coprs, dua hal yang substansinya serupa tetapi memiliki spirit yang berbeda. Di satu sisi, sebuah organisasi dituntut untuk memiliki esprit de corps yang kuat diantara anggotanya agar memiliki kebanggaan, sense of belonging, soliditas dan solidaritas serta mempertinggi semangat dalam melaksanakan tugas. Namun disisi yang lain, manakala lingkupnya diperbesar, esprit de corps yang salah implementasinya dapat memicu timbulnya ego sektoral yang kuat sehingga merugikan kepentingan yang lebih besar.

Mari kita coba bahas persoalan ego sektoral ini dengan mengawalinya dari teori Sigmund Freud tentang ego, super ego dan id.

Ego, menurut Freud, adalah keinginan yang terlahir dari diri kita yang ingin diwujudkan pada kehidupan nyata. Kemudian dalam interaksi antar pribadi dalam lingkup sosial, ego yang berisi keinginan murni tersebut selanjutnya akan ‘bertemu’ dulu dengan super ego yang berisi nilai nilai yang hidup di tengah masyarakat, yang berfungsi sebagai filter atas ego. Setelah ego disaring oleh super ego maka pada fase selanjutnya akan termanifestasikan sebagai identitas diri (id).

Dari id inilah akan dapat dilakukan penilaian, apakah hubungan antar manusia sudah cukup seimbang. Jika ego tidak banyak tersaring oleh super ego-- yang pada akhirnya memunculkan id--, maka kepentingan pribadi (individual) akan menjadi lebih dominan tanpa pertimbangan kepentingan bersama (sosial).

Dalam sebuah sistem yang besar, seperti organisasi tempat saya bekerja, dimana terdapat banyak subsistem didalamnya dengan berbagai fungsi, karakter, simbol dan kepentingan yang berbeda, ketika kepentingan sub sistem itu lebih dominan dibandingkan kepentingan sistem yang lebih besar, disitulah muncul apa yang disebut dengan ego sektoral.

Pimpinan saya yang sekarang, melihat sistem yang besar ini sebagai sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, sehingga ketika membicarakan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai oleh sistem, maka semua sub sistem harus mengeliminir kepentingan sub sistem atau ego sektoral nya. Interoperabilitas antar sub sistem harus dibangun dengan kuat sehingga semua upaya yang dilakukan hanya punya satu muara, yaitu mencapai apa yang diharapkan oleh pimpinan sistem yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun