"Bila demokrasi hendak diucapkan sebagai pencapaian peradaban, maka pengalaman ketidakadilan perempuanlah yang harus menjadi ukuran tertingginya."
Begitulah sepenggal kalimat dalam pengantar sebuah buku berjudul Politik Harapan [Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi] karangan Ani Soetjipto yang diutarakan Bung Rocky Gerung.
Bukan tanpa alasan dan hal itu pula lah yang membuat penulis penasaran dan ingin menuliskan maksud ketimpangan demokrasi tadi lewat perempuan dan posisinya. penulis memaknai dan menyingkat kalimat pengantar di atas menjadi "perempuan dan kedudukannya adalah simbol dari praktik gagalnya perwujudan demokrasi."
Politik perempuan adalah politik untuk memperbaiki peradaban. Apakah kita terlalu dini dan enggan mengakui hal itu?Â
Tidak salah kita mengakuinya dan mari melihat rangkaian fakta empiris tentang peran strategis perempuan untuk mendorong kemajuan pembangunan hidup berbangsa dan bermasyarakat.
Perempuan sebagai agensi pedesaan
Perempuan desa memiliki potensi untuk menggerakkan dirinya dan masyarakat menuju desa berdaulat dan berkeadilan. Sebagai agen pembangunan dan pembaharuan perempuan di pedesaan disamping peran domestiknya.
Peran perempuan bisa diakomodir lewat sebuah gerakan komunitas, baik itu komunitas terbuka di mana perempuan tergabung di dalamnya, contohnya serikat tani maupun komunitas yang diciptakan dan digerakkan oleh kaum perempuan itu sendiri.
Peran perempuan terlihat dari aktivitas yang mereka lakukan di pedesaan. Contoh, dalam berbagai konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi, perempuan terlibat langsung dalam mempertahankan tanah dan sumber daya alam mereka.Â
Di Sumatera Utara misalnya, perempuan adat Sipituhuta selalu berada di depan dalam aksi-aksi menolak kehadiran PT. TPL Â sebuah perusahaan HTI yang mendapat konsesi hutan di atas hutan kemenyan milik komunitas adat Sipituhuta.
Demikian juga halnya perempuan/Ibu-ibu Masyarakat Adat Sihaporas yang tergabung dalam AMMA (Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat) Sihaporas turut turun dan berpartisipasi untuk menyuarakan hak masyarakat adat Sihaporas Kabupaten Simalungun di mana PT. TPL telah merebut lahan hutan adat masyarakat adat setempat.
Peranan perempuan dalam mempertahankan tanah juga dilakukan dengan cara-cara yang khas. Aleta Baun (Mama Aleta) mengajak perempuan Mollo, di Nusa Tenggara Timur, untuk dijadikan kawasan pertambangan.
Perlawanan khas lainnnya juga dilakukan perempuan Kendeng pada kasus penolakan pabrik semen Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Perempuan Kendeng melakukan aksi berkemah, jalan kaki (long march), dan aksi mengecor kaki di depan istana (Jurnal Perempuan 103 Hal 11).
Peran Perempuan menurut Ajaran Gereja Katolik
Perempuan melakoni peran yang amat penting dalam kehidupan gereja Katolik. Tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi perempuan juga hadir dalam dunia kerja, organisasi masyarakat dan menjadi biarawati.Â
Perempuan harus mempunyai akses kepada posisi tanggungjawab manapun yang memungkinkannya mengilhami kebijakan bangsa yang tepat.
Panggilan perempuan dalam Alkitab dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: panggilan perempuan sebagai ibu/istri yang sudah merupakan suatu ethos, panggilan perempuan karir, dan panggilan perempuan sebagai biarawati.
Bunda Maria menjadi sosok yang ideal juga menjadi patron kehidupan perempuan Katolik. Sosok ibu yang ideal, lembut, tulus, hangat, damai, saleh dan menerima "tugas yang tidak mudah". (Figur Maria telah dimasukkan oleh Para Bapa Konsili Vatikan II ke dalam bab terakhir konstitusi dogmatic mengenai gereja Katolik. Maria dengan kepribadiannya kiranya dapat menjadi teladan perempuan Katolik.)
Partisipasi kaum perempuan di berbagai profesi menjadi suatu berkat bagi perkumpulan baik itu di publik maupun pribadi. Misal, menjadi dokter, perawat, guru, dan pekerja sosial.Â
Perempuan juga mampu menjalankan program katekese di paroki-paroki kerjasama kaum laki-laki dan perempuan dalam profesi hidup dapat terjadi jika kedua belah pihak menyadari panggilan mereka dan mengambil kesimpulan untuk dilaksanakan
Bahwa perempuan juga tidak melulu hanya mengurusi diri sendiri melainkan terlibat membantu kaum yang miskin. Adalah tugas yang berat mengangkat seseorang dari kelaparan dan menghilangkan perasaan laparnya.
Peran perempuan menurut ajaran agama Islam
Dalam Islam, Allah subhanahu wa ta'ala tidak membeda-bedakan kedudukan perempuan dan laki-laki di hadapan-Nya. "Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemakrufan dan mecegah kemungkaran." (QS at-Taubah [9]: 71)
Dalam Islam, secara garis besar peran hakiki perempuan terdapat pada dua ranah, yaitu ranah domestik (keluarga/rumah tangga) dan ranah publik. Pada ranah domestik, peran utama perempuan untuk mengubah kondisi ummat ialah sebagai ummu wa rabatul 'bait (ibu manajer rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu pencetak generasi).
Di ranah publik, seorang muslimah diwajibkan untuk menjadi seseorang yang berpikir politis dan melakukan berbagai aktivitas politis. Aktivitas politis dalam artian senantiasa melakukan dakwah untuk ber-amar ma'ruf nahyi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) di tengah masyarakat.
Peran perempuan dalam pembangunan nasional
Dalam sebuah forum Trading Development and Gender Equality yang berlangsung di sela Asian Development Bank Annual Meeting Mei 2019 di Nadi, Fiji, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/ Bappenas) menyebutkan kaum perempuan adalah aset, potensi, dan investasi penting bagi Indonesia yang dapat berkontribusi secara signifikan sesuai kapabilitas dan kemampuannya.
Tidak hanya menjadi agen pembangunan di pedesaan, perempuan juga bisa menjadi aktor strategis di dalam pembangunan skala nasional. Salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan di sektor perikanan perempuan mengerjakan 70% pekerjaan produksi perikanan dengan waktu kerja hingga 17 jam (data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Demikian juga keterlibatan perempuan pada bidang-bidang lain, termasuk politik dan pemerintahan. Saat ini keterwakilan perempuan di DPR RI pada Pemilu 2019 mencapai 20,52% atau 119 dari 575 kursi (Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/257895-banyak-cara-wujudkan-30-keterwakilan-perempuan),
Meskipun kuota 30% belum terpenuhi sesuai yang diamanatkan UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu akan tetapi peningkatan itu terlihat dan ada. Ya, meskipun konsep keterlibatan perempuan dalam hal ini dengan mekanisme yang masih terkesan "pemenuhan syarat" dan bukan diisi kader partai yang mumpuni.
Peran dan posisi strategis yang diisi oleh perempuan sangat berdampak pada suatu kemajuan apabila usul dan gagasannya pun dipenuhi dasar yang jelas dan dilandasi demi kemajuan kemslahatan bersama/kepentingan orang banyak. Dan gagasan tersebut diakomodir, diterima dan diimplementasikan.
Meskipun peran dan keterlibatan perempuan telah banyak dan nyata seperti yang sudah dijabarkan di atas, lalu apa yang menjadikan perempuan masih belum menunjukkan powernya? Lalu mengapa demokrasi kita masih belum terwujud?
Melihat politik perempuan hari-hari ini sedang masuk dalam tahap evaluasi ideologis, justru kita menyaksikan betapa politik Indonesia sedang dikendalikan oleh suatu kartel patriarkis yang memadukan kepentingan bisnis kelompok dengan posisi-posisi kekuasaan.
Sedang perempuan bertindak dengan "ethics of care" dalam upaya memastikan bahwa semua orang adalah produsen keadilan, dan karena itu politik haruslah merupakan pekerjaan menghasilkan keadilan, bekerja dengan perasaan yang dimilikinya dan sangat hati-hati di luar dari apa yang partai titipkan untuknya dan hal itu pula lah yang menjadikan kotor praktik politik itu sendiri.
Menurut survei Angkatan Kerja Nasional 2018 yang dirilis oleh BPS, proporsi laki-laki dalam sektor kerja formal hampir dua kali lipat dibanding perempuan.Â
Untuk mendukung kesetaraan itu hak-hak mendasar perempuan harus terlindungi, tidak didiskriminasi, didukung agar perempuan mampu mengexplore kemampuannya.Â
Namun alih-alih menyetarakan hampir 400.000 kasus kekerasan seksual yang dicatat Komnas Perempuan dan RUU PKS masih belum juga disah kan.
Belum lagi perempuan dieksploitasi untuk posisi-posisi kerja tertentu dan hal itu dianggap tidak menjadi masalah. perempuan masih belum menunjukkan powernya dan mengisi kedudukan seturut kemampuannya. hal ini tetap harus menjadi refleksi bagi diri perempuan.
Kehadiran dan keterlibatan perempuan yang setara dengan laki-laki dapat mencerminkan sebuah proses demokrasi yang terpenuhi dalam aspek sosio-politik. Dan hal itu dapat memengaruhi aspek-aspek lainnya. Demokrasi memang sedang diuji konsistensinya oleh konsep keadilan feminis.
Penjelasannya sangatlah logis: pada perempuanlah seluruh jenis ketidakadilan itu bermuara! dengan kata lain, memahami ketidakadilan yang dialami perempuan berarti memahami ketidakadilan pada bentuk dan isi demokrasi.
Sekiranya tulisan ini belum menjawab, berikan pencerahan dan berdiskusi dengan penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H