Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hak Cipta, Demi Kesejahteraan Seniman atau Alat Liberalisasi?

27 Februari 2019   08:50 Diperbarui: 21 Maret 2019   10:19 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul asli         : Imagine There Is No Copyright and No Cultural   Conglomerates Too: An Essay

Judul buku      : Dunia Tanpa Hak cipta

Penulis             : Joost Smiers,  Marieke van Schijndel

Penerjemah      : Hastini Sabarita

Penerbit           : INSISTPress

Tebal buku      : xx+167; 14x21 cm

Tahun Terbit    : cetakan I, oktober 2012

Harga              : Rp. 30.000,00

Peresensi         : lis liseh*

Baca juga resensi lainnya: Tentang Gadis Buta Huruf dan 3 Megaton yang Harusnya Tidak Ada

Karya seni adalah ekspresi dari emosi yang berbeda-beda, seperti kesenangan dan kesedihan. Sebuah ekspresi seni yang kita lihat, dengar, dan baca akan meninggalkan jejak yang kuat pula dalam pikiran kita.  

Apa yang menurut orang menarik bisa jadi dikritik tajam oleh orang lain. Dengan demikian, wilayah seni budaya dalam masyarakat kita bukanlah zona yang netral. Bahkan, hal-hal dasar, sering kali menjadi perdebatan dan kontroversi yang tak kunjung usai. Terlebih tentang hak cipta. (hal. 3-4)

Tujuan awal hak cipta sebenarnya adalah tidak boleh ada kepemilikan yang sentralistik namun para pencipta dan produsernya juga berhak mencari keuntungan dari hasil karya mereka, di samping  masyarakat juga harus mendapat akses yang cukup terhadap karya tersebut.

Salah satu alasan penting mengapa muncul begitu banyak kritik terhadap penerapan hak cipta adalah banyak negara tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengatur hak cipta sesuai dengan apa yang mereka anggap tepat. 

Mereka terlalu memaksakan diri menerapkan standar umum, sebagaimana disepakati dalam TRIPS (Trade Related Aspect of Intellectual Property Right), yakni perjanjian WTO tentang hak-hak kekayaan intelektual internasional. Posisi TRIPS kemudian cenderung berubah menjadi perjanjian perdagangan bebas. (Hal. 39-49)

Kemudian muncul gagasan tentang Creative Commons. Ide dasarnya karya menjadi subjek dari hak cipta "kosong" yang dijadikan lisensi paling ekstrem. 

Namun, Creative Commons tidak menunjukan indikasi seniman memperoleh penghasilan yang layak. Dan pendekatan Creative Commons  tidak secara fundamental mempertanyakan sistem hak cipta. 

Karena itu,  Creative Commons tidak cocok karena sistem ini tidak menciptakan kebersamaan (common), tapi justru kepemilikan. Ditambah lagi, ternyata  Creative Commons merupakan gabungan dari konglomerat budaya (coalition of the willing), yang menguasai kepemilikan dalam jumlah besar dari warisan budaya. (Hal. 66-68)

Bagi negara miskin, sistem paten yang berlaku bahkan jauh lebih tidak bersahabat. Banyak ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh mereka justru berada dalam cengkraman para pemilik paten negara-negara industri. Ironisnya, tidak kurang dari dua abad sebelumnya, semua ilmu pengetahuan tersedia gratis. Sekarang, semua ilmu pengetahuan telah dikunci oleh hak paten. 

Belum lagi jika harus menyebutkan beberapa ilmu pengetahuan yang telah dicuri (dari negara miskin) oleh perusahaan yang berasal dari negara industri yang kemudian mematenkannya untuk diri meraka sendiri.

Lain lagi masalah yang dihadapi oleh industri farmasi. Ancaman masif bagi kesehatan masyarakat, seperti beredarnya obat palsu, sebenarnya dapat diatasi dengan memberantas nilai (value) yang membenarkan tindakan ilegal itu. 

Jika usulan penulis menjadi kenyataan, dan paten tidak ada lagi, maka obat-obatan di apotek kemungkinan akan dijual dengan harga yang tidak lebih mahal dari ongkos biaya produksinya saja. Hal ini setidaknya dapat memangkas distribusi obat palsu. Bahkan jika perlu sebenarya penghapusan sistem hak paten dapat menjadi berkah tersendiri bagi kesehatan masyarakat. (Hal. 148-153)

Ketika hak cipta dinilai terlalu berlebihan dan tidak memuaskan, maka tidak heran kredibilitas dan legitimasinya dipersoalkan. Hak cipta secara prinsip bukanlah ide yang buruk, hanya sudah berada diluar jalur. Bahkan penghapusan hak cipta bisa saja menjadi jalan keluar terakhir dari berbagai permasalahan ini.

Gerakan besar yang  banyak berkembang, termasuk Free Press,  tampak berhasrat memberlakukan undang-undang persaingan di bidang media. Teknologi baru telah berhasil membawa produksi suara dan gambar dalam jangkauan yang lebih luas. Gejala inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa MySpace dan Youtube mampu meraih posisi dominan. 

Jadi, tidak mengherankan jika, dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, salah satu fungsi utama dari hak cipta tidak lagi diperlukan dalam komunikasi timbal balik. 

Sedikit indikasi inilah mengapa kita pantas membayangkan sebuah dunia tanpa hak cipta dan dominasi pasar. Tidak ada salahnya kita bersiap dengan kondisi ini.

 Satu hal yang sangat jelas dari usulan kedua penulis lebih terkait pada WTO dan TRIPS. Hilangnya hak cipta akan menarik keluar karpet yang dipijak oleh kaki TRIPS. Karena WTO dibangun berdasarkan asumsi politik yang menegaskan bahwa pasar harus terus diliberalisasi atau menjadi semakin terbuka. 

Artinya, dunia dianggap sebagai satu pasar besar dimana setiap orang bisa menjual isi hatinya, dengan jangka waktu yang sama. Penerapan undang-undang persaingan juga bisa memperoleh ruang di sini. (Hal. 99-101)

Sehingga, Joost Smiers yang seorang ilmuwan politik, dan Marieke van Schijndel yang seorang ilmuwan budaya berani mengeluarkan gagasan menghapus hak cipta yang dinilai bisa menjadi jalan keluar. 

Kita diajak untuk berhenti bermimpi bahwa hak cipta akan membuat sebagian besar seniman mendapatkan penghidupan yang layak. 

Tidak hanya membebaskan diri dari hak cipta-karena seiring lahirnya digitalisasi, hak ciptapun menjadi semakin lemah-tetapi kita juga harus berhenti memberikan toleransi terhadap segelintir konglomerat budaya yang mengontrol komunikasi budaya. Dan buku ini menyajikan penjelasan atas gagasan tersebut, seperti yang dijelaskan singkat diatas.

Selamat membaca lejitan ide dan kontroversinya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun