Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hak Cipta, Demi Kesejahteraan Seniman atau Alat Liberalisasi?

27 Februari 2019   08:50 Diperbarui: 21 Maret 2019   10:19 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang menurut orang menarik bisa jadi dikritik tajam oleh orang lain. Dengan demikian, wilayah seni budaya dalam masyarakat kita bukanlah zona yang netral. Bahkan, hal-hal dasar, sering kali menjadi perdebatan dan kontroversi yang tak kunjung usai. Terlebih tentang hak cipta. (hal. 3-4)

Tujuan awal hak cipta sebenarnya adalah tidak boleh ada kepemilikan yang sentralistik namun para pencipta dan produsernya juga berhak mencari keuntungan dari hasil karya mereka, di samping  masyarakat juga harus mendapat akses yang cukup terhadap karya tersebut.

Salah satu alasan penting mengapa muncul begitu banyak kritik terhadap penerapan hak cipta adalah banyak negara tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengatur hak cipta sesuai dengan apa yang mereka anggap tepat. 

Mereka terlalu memaksakan diri menerapkan standar umum, sebagaimana disepakati dalam TRIPS (Trade Related Aspect of Intellectual Property Right), yakni perjanjian WTO tentang hak-hak kekayaan intelektual internasional. Posisi TRIPS kemudian cenderung berubah menjadi perjanjian perdagangan bebas. (Hal. 39-49)

Kemudian muncul gagasan tentang Creative Commons. Ide dasarnya karya menjadi subjek dari hak cipta "kosong" yang dijadikan lisensi paling ekstrem. 

Namun, Creative Commons tidak menunjukan indikasi seniman memperoleh penghasilan yang layak. Dan pendekatan Creative Commons  tidak secara fundamental mempertanyakan sistem hak cipta. 

Karena itu,  Creative Commons tidak cocok karena sistem ini tidak menciptakan kebersamaan (common), tapi justru kepemilikan. Ditambah lagi, ternyata  Creative Commons merupakan gabungan dari konglomerat budaya (coalition of the willing), yang menguasai kepemilikan dalam jumlah besar dari warisan budaya. (Hal. 66-68)

Bagi negara miskin, sistem paten yang berlaku bahkan jauh lebih tidak bersahabat. Banyak ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh mereka justru berada dalam cengkraman para pemilik paten negara-negara industri. Ironisnya, tidak kurang dari dua abad sebelumnya, semua ilmu pengetahuan tersedia gratis. Sekarang, semua ilmu pengetahuan telah dikunci oleh hak paten. 

Belum lagi jika harus menyebutkan beberapa ilmu pengetahuan yang telah dicuri (dari negara miskin) oleh perusahaan yang berasal dari negara industri yang kemudian mematenkannya untuk diri meraka sendiri.

Lain lagi masalah yang dihadapi oleh industri farmasi. Ancaman masif bagi kesehatan masyarakat, seperti beredarnya obat palsu, sebenarnya dapat diatasi dengan memberantas nilai (value) yang membenarkan tindakan ilegal itu. 

Jika usulan penulis menjadi kenyataan, dan paten tidak ada lagi, maka obat-obatan di apotek kemungkinan akan dijual dengan harga yang tidak lebih mahal dari ongkos biaya produksinya saja. Hal ini setidaknya dapat memangkas distribusi obat palsu. Bahkan jika perlu sebenarya penghapusan sistem hak paten dapat menjadi berkah tersendiri bagi kesehatan masyarakat. (Hal. 148-153)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun