Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hak Cipta, Demi Kesejahteraan Seniman atau Alat Liberalisasi?

27 Februari 2019   08:50 Diperbarui: 21 Maret 2019   10:19 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika hak cipta dinilai terlalu berlebihan dan tidak memuaskan, maka tidak heran kredibilitas dan legitimasinya dipersoalkan. Hak cipta secara prinsip bukanlah ide yang buruk, hanya sudah berada diluar jalur. Bahkan penghapusan hak cipta bisa saja menjadi jalan keluar terakhir dari berbagai permasalahan ini.

Gerakan besar yang  banyak berkembang, termasuk Free Press,  tampak berhasrat memberlakukan undang-undang persaingan di bidang media. Teknologi baru telah berhasil membawa produksi suara dan gambar dalam jangkauan yang lebih luas. Gejala inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa MySpace dan Youtube mampu meraih posisi dominan. 

Jadi, tidak mengherankan jika, dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, salah satu fungsi utama dari hak cipta tidak lagi diperlukan dalam komunikasi timbal balik. 

Sedikit indikasi inilah mengapa kita pantas membayangkan sebuah dunia tanpa hak cipta dan dominasi pasar. Tidak ada salahnya kita bersiap dengan kondisi ini.

 Satu hal yang sangat jelas dari usulan kedua penulis lebih terkait pada WTO dan TRIPS. Hilangnya hak cipta akan menarik keluar karpet yang dipijak oleh kaki TRIPS. Karena WTO dibangun berdasarkan asumsi politik yang menegaskan bahwa pasar harus terus diliberalisasi atau menjadi semakin terbuka. 

Artinya, dunia dianggap sebagai satu pasar besar dimana setiap orang bisa menjual isi hatinya, dengan jangka waktu yang sama. Penerapan undang-undang persaingan juga bisa memperoleh ruang di sini. (Hal. 99-101)

Sehingga, Joost Smiers yang seorang ilmuwan politik, dan Marieke van Schijndel yang seorang ilmuwan budaya berani mengeluarkan gagasan menghapus hak cipta yang dinilai bisa menjadi jalan keluar. 

Kita diajak untuk berhenti bermimpi bahwa hak cipta akan membuat sebagian besar seniman mendapatkan penghidupan yang layak. 

Tidak hanya membebaskan diri dari hak cipta-karena seiring lahirnya digitalisasi, hak ciptapun menjadi semakin lemah-tetapi kita juga harus berhenti memberikan toleransi terhadap segelintir konglomerat budaya yang mengontrol komunikasi budaya. Dan buku ini menyajikan penjelasan atas gagasan tersebut, seperti yang dijelaskan singkat diatas.

Selamat membaca lejitan ide dan kontroversinya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun