Pada minggu lalu, yaitu tepatnya pada saat sedang heboh-hebohnya debat capres perdana ditayangkan di Televisi. Yang  mengakibatkan para pendukung paslon 01 dan 02 sibuk perang di media sosial.Â
Mulai dari status terang-terangan sampai dengan meme sindiran yang mendadak bergentayangan akibat olah kata dan data di panggung debat capres. Atau pun perang tagar yang dilancarkan warganet di Twitter.Â
Saya pun tidak mau ketinggalan, sebagai bagian dari orang yang mencoba menjadi bagian kaum milenial. Tapi saya sibuk berperang melawan hoaks.
Setelah pesta demokrasi ini usai. Mungkin kejadian ini akan dirindukan. Bahkan bisa diceritakan kepada anak dan cucu. Kira-kira begini ceritanya, "Cu, tahu tidak dulu Oma pernah ikutan perang."Â
"Oh ya, memang zaman Oma masih ada perang?" tanya si cucu polos.Â
"Ya iyalah, dulu perangnya di media sosial. Seru loh, kejar-kejaran melawan hoaks. Sampai jempol Oma keseleo. Untung ngga sampai dibawa ke rumah sakit," jawab si Oma dengan nada bangga.
Di balik perang antara cebong dan kampret, ada pihak-pihak yang mencoba meredam gesekan akibat politik yang membawa-bawa agama. Hari Rabu (16/01/2019) dan Kamis (17/01/2019), komunitas Wisata Kreatif Jakarta mengadakan Wisata Bhinneka lintas agama yang diikuti kurang lebih 150 peserta. Yang terdiri dari siswa, siswi dan para mahasiswa, mahasiswi, guru, dan dosen pendamping.
Wisata ini memang ditujukan untuk peserta wilayah Jakarta. Pada awalnya banyak peserta yang mendaftar dari Bekasi, Bogor, Tangerang. Sayangnya harus ditolak karena memang diprioritaskan untuk wilayah Jakarta saja. Karena yang paling terkena dampak intoleransi Pilkada yang lalu adalah Jakarta.Â
Peserta juga sebagian besar diundang, bukan mendaftar. Panitia yang menyebar undangan juga tidak sedikit menerima penolakan. Baik dari pihak sekolah atau pun orangtua murid.Â
Bahkan acara ini sempat diundur, rencananya akan diadakan pada bulan Desember 2018. Bahkan undangan sudah disebar pada awal Desember. Disebabkan sejumlah sekolah sedang melaksanakan ujian bahkan banyak pula yang sudah libur. Terpaksa acara ini berubah dilaksanakan pada bulan Januari 2019.
Wisata Kreatif Jakarta
Komunitas ini biasa mengadakan tur rutin tiap akhir pekan dan sifatnya berbayar. Di mana terdiri dari Wisata Makam & Taman, Wisata Bhinneka (wisata tempat ibadah), Wisata Ceria (khusus anak-anak) dan yang paling sering adalah Wisata Kuliner. Tetapi, untuk Wisata Bhinneka yang dua hari kemarin memang spesial digratiskan.Â
Pada tahun lalu mereka sudah berhasil menyelenggarakan Festival Kebhinekaan di tengah-tengah gelombang antitoleransi atas nama politik. Dalam rangkaian acaranya terdapat Wisata Bhinneka, tapi tahun ini berbeda. Wisata Bhinneka diselenggarakan terlebih dahulu dengan peserta khusus undangan saja.
Wisata Bhinneka
Latar belakang para undangan untuk wisata ini sengaja dicari sekolah beragama. Ini bertujuan agar dibaurkan pada saat tur. Jadi tiap grup yang terdiri dari kurang lebih 20 anak, merupakan gabungan dari tiap sekolah. Untuk sekolah yang mengirimkan guru pendamping lebih dari satu orang juga dipisah agar bersosialisasi juga.
Tur yang diadakan selama 2 hari ini, tiap rute mengunjungi 4 tempat ibadah. Rute Cilincing yang jatuh pada hari pertama, mendatangi Gereja Kristen Jawa, Masjid Al Alam, Vihara Lalitavistara, dan terakhir Pura Segara.Â
Untuk rute hari kedua, dimulai dari Gereja GPIB Immanuel lalu Masjid Istiqlal kemudian Gereja Katedral dan berakhir di Klenteng Sin Tek Bio.Â
Peserta rute Cilincing terdiri dari 4 sekolah yaitu SMK Strada 3, SMK Al Miftayah, SMKN 36 dan SMA Negeri 13 - Jakarta. Untuk peserta rute Pasar Baru adalah SMAK 2 Penabur, SMA Muhammadiyah 16, SMKN 1 Jakarta, UNINDRA, STAN dan SMA Advent 1.
Pada awal tur, dibagikan kertas kepada peserta. Antara lain berisi beberapa pertanyaan sbb
- Apakah kamu mempunyai teman/sahabat beragama lain?
- Pernahkah mengunjungi tempat ibadah penganut agama lain?
- Pernah mengalami pengalaman buruk dengan agama lain atau tidak?
Juga mereka diminta menuliskan anggapan mereka terhadap agama lain. Isi tulisan mereka ini memang menarik. Bagi yang merasa tidak nyaman untuk menuliskan nama asli, mereka dipersilahkan untuk menuliskan inisial saja. Contohnya ada yang menuliskan agama Kristen eksklusif, tapi ada juga yang menuliskan agama Islam eksklusif.Â
Ada juga tulisan yang menceritakan bahwa dia diejek karena agamanya. Ada juga pertanyaan-pertanyaan mengenai agama lain yang kesannya tabu untuk dibicarakan tapi diungkapkan dalam torehan spidol di kertas ini. Contohnya mengenai pro kontra ucapan Selamat Natal dan mengapa umat Islam diharuskan memakan makanan yang berlabel halal.Â
Belum lagi ada yang bertanya "Mengapa cara ibadah agama lain ribet?" Intinya banyak penilaian mereka tentang agama lain buruk. Melihat respon peserta banyak yang tidak menyatakan hal-hal yang normatif, panitia merasa undangan mereka tepat sasaran. Karena berdasarkan sebuah survei yang dirilis Setara Institute di tahun 2017 mengungkapkan bahwa Jakarta adalah kota yang paling rendah tingkat toleransinya, salah satunya karena ekses dari Pilkada DKI.
Pada akhir acara, dibagikan lagi kertas. Peserta diminta menuliskan kesan terhadap tur ini dan terlihat cara pandang mereka jadi berubah. Contohnya ada pada salah satu peserta yang memang tidak mempunyai teman yang beragama lain. Latar belakang keluarganya juga sangat beragama yang tertutup.Â
Sampai di titik ketika dia melewati bagian depan tempat ibadah lainnya saja merupakan larangan. Setelah mengikuti wisata lintas agama ini, cara pandangnya berubah. Dia mendapat wawasan yang lebih luas sehingga tidak "negatif thinking" terhadap agama lain.
Testimoni peserta usai wisata Bhinneka
Tujuan Wisata Bhinneka
Jadi memang salah satu tujuan Wisata Bhinneka ini diadakan, yaitu untuk menghilangkan prasangka buruk terhadap agama lain dengan kegiatan menyenangkan. Melalui tur berjalan kaki diharapkan keluar testimoni seperti "Ternyata banyak orang Kristen yang baik", atau "Ternyata Mesjid boleh dikunjungi oleh orang Kristen seperti saya ini."
Penyelenggara wisata ini, yaitu Yayasan Khairiyah berharap setelah acara ini usai para peserta menjadi relaks menghadapi agama lain. Menjadi berbeda memang bukan pilihan, tapi, menjadi satu adalah pilihan.
Saya mendadak ingat salah satu quote dari Ir. Soekarno,
"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"
Kembali lagi kepada debat capres kemarin. Pada bagian akhirnya, terlihat kedua paslon saling berangkulan. Setelah Jokowi lebih dahulu menghampiri usai menggulung lengan kemejanya.Â
Sementara di dunia maya (media sosial), warganet pendukung mereka sedang sibuk-sibuknya berdebat dengan menggunakan jempol mereka. Dan tidak jarang di dunia nyata, dua sahabat tidak mau bertegur sapa lagi akibat beda jagoan capres. Bahkan dalam satu keluarga bisa memusuhi anggota keluarga yang mempunyai pilihan berbeda. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H