Ereveld Menteng Pulo adalah Makam Kehormatan Belanda untuk mengenang korban Perang Dunia II sejak tahun 1947, kata Evelyn yang adalah pemandu wisata kami hari ini. Sebelumnya ada 22 tempat tersebar di seluruh Nusantara, tapi akhirnya diperkecil jumlahnya sehingga menjadi 7 saja. Di Jakarta ada dua, di sini dan di Ancol.
Hari ini terasa istimewa karena baru kali ini saya merasakan dipandu oleh bukan orang Indonesia asli di Jakarta, kota kelahiran sendiri. Penjelasan dilakukan dengan Bahasa Inggris, tapi dia sempat meminta maaf  dan meminta persetujuan apakah saya mengerti penjelasan yang dia berikan. Saya mengangguk tanda setuju dan berkata, "It's OK". Padahal saya cuma sok gengsi. Kulit putih, rambut coklat, hidung tinggi. Yakin, tidak bisa bahasa Inggris? Sementara peserta lain bertampang asli Indonesia tidak ada masalah sama sekali.
Selama ini makam yang saya kunjungi tidak pernah terkoordinasi serapih ini. Dengan deretan nisan yang kebanyakan berlambang salib, tapi ternyata setelah diperhatikan ada beberapa macam. Seperti salibnya pun ada bermacam-macam. Ada salib biasa, ukurannya agak kecil, lalu salib seperti ada hiasan 3 kelopak di ujungnya.Â
Setelah "tebak-tebak buah manggis" dengan Evelyn, ada seorang peserta yang bisa menebak. Kalau yang polos itu menandakan laki-laki, kalau yang ada kelopaknya itu makam perempuan, sedangkan yang kecil itu anak-anak. Ini biasanya berlaku untuk makam sipil.
Tapi pada dasarnya, bentuk nisan itu didasarkan atas kepercayaan. Kalau Kristen atau Katolik pastinya salib. Untuk makam orang Yahudi berbentuk bintang Daud. Orang Tionghoa, berbentuk bilah polos tapi di pucuknya berbentuk seperti gundukan. Lalu Muslim seperti bilah juga tapi ada cekungan-cekungan di sisi atas dan samping.
Di sini ada fasilitas pendopo untuk bersantai di dekat pintu masuk. Juga disediakan beberapa tempat duduk yang teduh di tengah makam. Oh ya, pada saat masuk. Kalian akan diminta untuk mengisi buku tamu. Jam buka 09.00 s/d 17:30 setiap hari. Tempat parkir luas, bisa membawa mobil atau motor. Tapi akses jalan ke sini tidak bisa dimasuki oleh bus karena kelokan jalannya patah. Kalau untuk bis kecil atau Elf, bisa menjangkau tempat ini.
Di bagian samping gereja terdapat rumah abu (colombarium) korban Kamp di Jepang. Jadi, mereka korban yang meninggal pada saat menjadi tawanan perang di Jepang. Pada masa itu mereka bekerja paksa untuk membangun rel kereta api. Ketika meninggal, oleh pihak Jepang dikremasi. Abu jenasah mereka ini kemudian ditemukan oleh Amerika setelah Jepang kalah karena dihantam bom Hiroshima.Â
Dari pihak Amerika menyerahkan kepada Belanda. Yang diletakkan di sini adalah atas kemauan pihak keluarga korban yang memang bertempat tinggal di Indonesia. Lainnya dibawa pulang ke Belanda.