Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Membincang Kesehatan Reproduksi di Masa Pandemi

27 Juni 2020   17:15 Diperbarui: 28 Juni 2020   20:10 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ibu hamil (shutterstock) via Kompas.com

Seperti dikutip dalam berita ini, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diperkirakan akan terjadi 400-an ribu kehamilan yang tidak direncanakan selama pandemi COVID-19.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan sejumlah klinik/layanan kesehatan dan kandungan menutup layanannya sehingga masyarakat kesulitan mengakses alat kontrasepsi.

Demikian juga yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Baru-baru ini Guttmacher Institute meluncurkan hasil survey yang diambil dari 2000 responden perempuan di AS pada akhir April sampai awal Mei.

Survey ini melaporkan bahwa satu dari tiga perempuan kesulitan untuk mendapatkan layanan kontrasepsi termasuk harus menunda dan bahkan membatalkan kunjungan ke dokter untuk layanan kesehatan reproduksi. Studi ini juga menyebutkan bahwa situasi sekarang ini lebih parah dibandingkan dengan resesi ekonomi tahun 2008.

Gambar ilustrasi via yourstory.coms
Gambar ilustrasi via yourstory.coms
Guttmacher Institute tidak secara spesifik menanyakan bagaimana atau kenapa perempuan kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Tapi mereka mendapatkan gambaran perbedaan yang cukup mencolok secara ras/etnis.

29% perempuan kulit putih melaporkan situasi pandemi membuat mereka sangat sulit untuk mengakses kontrasepsi dan kesehatan reproduksi, 38% perempuan kulit hitam dan 45% perempuan hispanik menyampaikan hal yang sama. Artinya ras kulit berwarna dan hispanik semakin rentan.

Apalagi urusan kesehatan ini sangat berkaitan erat dengan asuransi kesehatan yang dimiliki karena mereka bekerja. Bagaimana jika tidak? Dan apalagi tingkat pengangguran di ras kulit hitam meningkat 16.8%. Saya tidak bermaksud menjelaskan soal diskriminasi ras.

Hal paling kontras dari dampak layanan kesehatan akibat pandemi di dua negara ini, jika di Indonesia kehamilan semakin meningkat, di Amerika justru sebaliknya. 

Survei yang sama menyebutkan sepertiga lebih perempuan mengatakan mereka memutuskan menunda kehamilan dan memilih untuk punya anak sedikit saja sebab tidak terbayangkan jika kondisi pandemi akan berdampak besar pada layanan pengasuhan anak (child care) atau biaya yang tidak bisa mereka jangkau. Belum lagi soal resesi ekonomi, dan seterusnya.

Mengapa di Indonesia sebaliknya? Komentar dari BKKBN di berita yang sama yang saya kutip di awal, mengatakan 95 persen pengguna kontrasepsi di Indonesia adalah perempuan sementara hanya sedikit laki-laki yang mau menggunakan kontrasepsi misalnya kondom.

Sampai BKKBN berinisiatif untuk memberikan layanan alat kontrasepsi (IUD) ke rumah-rumah. Dan kenapa bukan (kampanye) kondom juga?

Pernyataan tersebut menggambarkan soal relasi seksual di dalam rumah tangga. Harus diakui masih banyak pekerjaan rumah di dalam negeri dengan urusan kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia. Terlalu banyak tabu dan mitos yang menyelimuti.

Laki-laki seringkali digambarkan lebih memiliki hasrat seksual dibandingkan perempuan. Perempuan tinggal terima dan layani. Banyak studi menunjukkan ini tidak benar.

Dan ketika masuk pada institusi keluarga, maka kita akan masuk pada dunia yang dipenuhi norma, nilai tentang kepatuhan, ketaatan isteri/perempuan pada suami yang terjalin rapi dalam ajaran agama terutama terkait dengan urusan seksualitas.

Kehamilan berhenti pada narasi rejeki dan memang tentu saja, anak adalah anugerah yang tak terkira. Namun tidak dilihat sebagai sebuah konsekuensi jangka panjang yang harus direncanakan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan hanya soal masa depan si anak namun pastinya kemampuan orang tua bukan?

Gambaran soal tabu itu seperti berikut ini juga. Saya mendapatkan cerita dari teman senior, fasilitator berpengalaman di isu perempuan dan seksualitas.

Pada setiap forum pelatihan yang ia fasilitasi, pertanyaan yang sering diajukan adalah apa itu orgasme? Dan itu selalu datang dari perempuan dewasa, menikah sekian tahun dan memiliki beberapa anak.

Sepertinya, seks/seksualitas hanya dilihat sebagai sebuah kewajiban. Bukan kesenangan yang dinikmati dan membuat bahagia berdua bukan salah satu pihak saja. Banyak hal lain yang serupa ini. Kita bisa diskusikan pada tulisan yang berbeda.

Dampak dari pekerjaan rumah untuk urusan kesehatan seksual dan reproduksi tidak sederhana. Lihat, paling tidak dua fakta berikut ini:

Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tinggi, bahkan di ASEAN
Menurut survey penduduk antar sensus (SUPAS) 2015, angka kematian ibu melahirkan 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini tertinggi kedua di ASEAN. Sembilan kali lebih besar dari Malaysia, lima kali dari Vietnam dan hampir dua kali dari Kamboja. Informasi lebih lengkap bisa dibaca di sini. 

Penyebab kematian ibu melahirkan diantaranya karena komplikasi persalinan yang tidak ditangani dengan baik dan tepat waktu. Disebutkan 75 persen disebabkan oleh pendarahan parah terutama setelah persalinan; infeksi; tekanan darah tinggi saat kehamilan (pre eclampsia/eclampsia); partus yang lama atau macet dan aborsi yang tidak aman.

Tingginya angka perkawinan anak
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 perkawinan anak berjumlah 1,2 juta kejadian.

Proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun adalah 11,21 persen dari jumlah toral anak. Ini berarti 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.

Perkawinan anak ini sangat berkorelasi kuat dengan kesehatan ibu dan bayi seperti fakta tentang angka kematian di atas. Dan kenyataan tersebut sangat dekat dengan kita. 

Baru-baru ini saya mendengar dua anak perempuan usia 17 tahun menikah. Kisah pertama diceritakan langsung oleh ayahnya yang biasa saya minta tolong untuk membersihkan rumput di halaman rumah. Usia dipalsukan karena sudah ada kebijakan yang diperbaharui tentang usia minimal perempuan menikah menjadi 19 tahun.

Kebijakan yang kita sambut gembira, hasil kerja keras advokasi kelompok organisasi perempuan bertahun-tahun. Lihat perubahan undang-undang di sini. Mengapa menikah? Anak perempuannya telah hamil. Dan ia terpaksa tidak melanjutkan pendidikan tingkat pertamanya karena sibuk mengurus anak.

Kasus kedua menikah di usia menjelang 18. Saat ini sedang hamil dan mendapatkan kekerasan dari suaminya. Bahkan kehamilannya terancam terganggu. Masih banyak cerita-cerita seperti ini kita dengar termasuk di wilayah-wilayah yang terdampak bencana.

Pemerintah memberi perhatian khusus terkait dengan isu perkawinan anak ini. Selain usia perkawinan yang direvisi pada undang-undang perkawinan seperti disinggung di atas, melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dan Bappenas pada bulan Februari lalu meluncurkan Dokumen Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) yang berisi langkah-langkah strategis dan terencana bersama dengan kementrian lain untuk mencapai target menurunkan angka perkawinan anak dari 11,21 persen menjadi 8,74 persen di tahun 2024. Hal ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah memenuhi target dan agenda global Sustainable Development Goals (SDGs).

Namun demikian, kita masih memiliki pekerjaan rumah besar yang lain, hal yang paling mendasar, bagaimana kita memiliki, mendapatkan dan memberikan pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang cukup terutama di sekolah-sekolah minimal dimulai di tingkat pertama.

Di forum internasional, bukan rahasia lagi, negara kita dianggap 'tradisional' dalam pemenuhan prinsip sexual and reproductive health and rights (SRHR) kesehatan dan hak seksual dan reproduksi. Kita cenderung menempatkan seksualitas sesuatu yang tabu, kotor dan tidak mungkin dibicarakan secara terbuka. 

Pada banyak aspek, seksualitas adalah topik tentang bagaimana fitrah manusia bertumbuh, berkembang, sehat dan mendapatkan kenikmatan serta kebahagiaan.

Saya masih banyak menjumpai para orangtua yang susah sekali menjelaskan, misalnya soal mimpi basah pada laki-laki remaja. Di sisi lain informasi begitu mudahnya diakses. Keingintahuan besar yang tidak kita kelola dengan baik akan melahirkan hal-hal yang tidak bisa kita antisipasi.

Mengakhiri tulisan ini, layanan kesehatan reproduksi menjadi sangat penting pada saat-saat pandemi seperti ini. Bukan hanya soal masalah kehamilan namun juga kesehatan yang lain termasuk mental karena rentannya kekerasan di dalam rumah tangga. Kebijakan pemerintah wajib peka dengan situasi seperti ini. 

Kampanye untuk kesehatan reproduksi penting untuk disuarakan bukan hanya membincang kehamilan yang meningkat. Apalagi dengan membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu. Sebab masalah ini berhubungan sangat serius bukan hanya kesehatan orang tua dan masa depan generasi bangsa.

Dan apalagi jika fenomena kehamilan yang meningkat di masa pandemi ini, bukan hanya soal layanan kontrasepsi yang sulit, namun karena perempuan belum memiliki otonomi atas tubuhnya yang membuat daftar pekerjaan rumah kita semakin panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun