Perkawinan anak ini sangat berkorelasi kuat dengan kesehatan ibu dan bayi seperti fakta tentang angka kematian di atas. Dan kenyataan tersebut sangat dekat dengan kita.Â
Baru-baru ini saya mendengar dua anak perempuan usia 17 tahun menikah. Kisah pertama diceritakan langsung oleh ayahnya yang biasa saya minta tolong untuk membersihkan rumput di halaman rumah. Usia dipalsukan karena sudah ada kebijakan yang diperbaharui tentang usia minimal perempuan menikah menjadi 19 tahun.
Kebijakan yang kita sambut gembira, hasil kerja keras advokasi kelompok organisasi perempuan bertahun-tahun. Lihat perubahan undang-undang di sini. Mengapa menikah? Anak perempuannya telah hamil. Dan ia terpaksa tidak melanjutkan pendidikan tingkat pertamanya karena sibuk mengurus anak.
Kasus kedua menikah di usia menjelang 18. Saat ini sedang hamil dan mendapatkan kekerasan dari suaminya. Bahkan kehamilannya terancam terganggu. Masih banyak cerita-cerita seperti ini kita dengar termasuk di wilayah-wilayah yang terdampak bencana.
Pemerintah memberi perhatian khusus terkait dengan isu perkawinan anak ini. Selain usia perkawinan yang direvisi pada undang-undang perkawinan seperti disinggung di atas, melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) dan Bappenas pada bulan Februari lalu meluncurkan Dokumen Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) yang berisi langkah-langkah strategis dan terencana bersama dengan kementrian lain untuk mencapai target menurunkan angka perkawinan anak dari 11,21 persen menjadi 8,74 persen di tahun 2024. Hal ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah memenuhi target dan agenda global Sustainable Development Goals (SDGs).
Namun demikian, kita masih memiliki pekerjaan rumah besar yang lain, hal yang paling mendasar, bagaimana kita memiliki, mendapatkan dan memberikan pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang cukup terutama di sekolah-sekolah minimal dimulai di tingkat pertama.
Di forum internasional, bukan rahasia lagi, negara kita dianggap 'tradisional' dalam pemenuhan prinsip sexual and reproductive health and rights (SRHR) kesehatan dan hak seksual dan reproduksi. Kita cenderung menempatkan seksualitas sesuatu yang tabu, kotor dan tidak mungkin dibicarakan secara terbuka.Â
Pada banyak aspek, seksualitas adalah topik tentang bagaimana fitrah manusia bertumbuh, berkembang, sehat dan mendapatkan kenikmatan serta kebahagiaan.
Saya masih banyak menjumpai para orangtua yang susah sekali menjelaskan, misalnya soal mimpi basah pada laki-laki remaja. Di sisi lain informasi begitu mudahnya diakses. Keingintahuan besar yang tidak kita kelola dengan baik akan melahirkan hal-hal yang tidak bisa kita antisipasi.
Mengakhiri tulisan ini, layanan kesehatan reproduksi menjadi sangat penting pada saat-saat pandemi seperti ini. Bukan hanya soal masalah kehamilan namun juga kesehatan yang lain termasuk mental karena rentannya kekerasan di dalam rumah tangga. Kebijakan pemerintah wajib peka dengan situasi seperti ini.Â
Kampanye untuk kesehatan reproduksi penting untuk disuarakan bukan hanya membincang kehamilan yang meningkat. Apalagi dengan membuat lelucon yang sama sekali tidak lucu. Sebab masalah ini berhubungan sangat serius bukan hanya kesehatan orang tua dan masa depan generasi bangsa.