Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Era Covid-19: Membincang Kehidupan dan Kematian yang Bermakna

14 April 2020   14:17 Diperbarui: 14 April 2020   14:50 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin meningkatnya urbanisasi dan juga berkembangnya agama Budha terjadi perubahan cara pemakaman jenasah dari interment (penguburan di tanah dengan ritual tertentu) ke metode kremasi. 

Penguburan di tanah memerlukan waktu yang cukup lama, bertahun-tahun untuk mengubah jasad dan kerangka manusia menjadi abu/tanah. Kremasi mengubah dengan cepat jasad manusia menjadi abu. 

Kremasi juga mengurangi kekhawatiran atas berkurangnya lahan untuk pemakaman, bahaya penularan penyakit dan juga bahaya diincar binatang buas pemakan daging (tentu sesuai dengan konteks pada jaman itu, tahun 1800-an). 

Undang-undang tahun 1884 kemudian menyebutkan pelarangan pembangunan area pemakaman bahkan pada undang-undang berikutnya tahun 1897 mengharuskan jasad orang yang meninggal karena penyakit menular untuk dikremasi. 

Artikel tersebut juga menyebutkan data kremasi yang meningkat dari tahun ke tahun, dari 54 persen pada tahun 1950 menjadi 91.1 persen pada tahun 1980 (lihat halaman 47). Mereka juga sangat mempercayai bahwa kremasi mempercepat berangkatnya spirit/roh ke tempat yang semestinya.

Sepanjang sejarah, Gereja Roman Katolik juga menentang kremasi. Ini dianggap penodaan terhadap kekristenan dan juga tuhan. Bukan hanya dianggap penodaan tapi juga pengingkaran terhadap kebangkitan dari kematian.

Namun demikian pada tahun 1963, Paus mencabut larangan tentang kremasi dan tahun 1966 mengijinkan Pastor untuk memimpin upacara kremasi. Sampai tahun 1997, aturan gereja menyebutkan kremasi dilakukan setelah upacara kematian. Namun tahun-tahun berikutnya berubah, kremasi bisa dilakukan sebelumnya dengan kemudian membawa Abu dalam wadah untuk diberikan penghormatan terakhir di gereja.

Tulisan ini bukan bermaksud mengurai lebih lanjut sejarah kremasi. Hanya menarik membaca perubahan norma dan nilai yang dianut tersebut. Esensinya tetap untuk kematian yang bermakna walaupun kita tidak pernah tahu ada apa setelah kematian. Pembahasan soal 'kehidupan' setelah kematian diulas oleh banyak agama dan juga ilmu filsafat, tetap kita tidak pernah tahu pasti. 

Oleh karena itu ada benarnya seorang filsuf kontemporer Amerika, Will Durrant, dalam bukunya The Story of Civilization mengatakan bahwa bisa jadi jika tidak ada kematian, Tuhan tidak mewujud dalam benak kita. It is death that creates religion. 

Ada sesuatu yang besar yang kita tuju. Karena itu kita berusaha melakukan sesuatu untuk mempertahankan kehidupan. Bicara tentang kematian juga bicara tentang ketakutan akan kehilangan atas apa yang kita dapatkan dan atas keinginan yang ingin terus kita bangun, cita-cita yang ingin kita wujudkan. 

Maka bisa dipahami jika penolakan penguburan jenasah terpapar virus adalah ketakutan yang paling mendasar tentang celaka dan kehilangan. Manusia akan berusaha mempertahankan diri, mempertahankan kehidupan apapun itu caranya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun