Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

#DiRumahAja, Bagaimana Jika Tidak Nyaman/Aman?

3 April 2020   17:30 Diperbarui: 3 April 2020   19:56 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak lama setelah tulisan tentang Pentingnya Menjaga dan Merawat Kesehatan Jiwa di Masa yang Rapuh tayang, saya mendapat pertanyaan bagaimana jika sumber masalah/kecemasan tersebut adalah pasangan kita di rumah?

Rumah tempat kita berteduh, tempat yang seharusnya paling aman untuk menghindar dari segala kemungkinan dan resiko terburuk di luar sana menjadi tempat tidak aman dan nyaman.  Apakah ada pilihan lain selain tetap bertahan dan menghadapinya?

Tulisan guru dan kakak senior saya Leya Catlleya di artikel yang berjudul "7 Alasan Perempuan Terdampak Virus Corona secara Berbeda.." memberi gambaran lengkap bagaimana masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan pada masa sulit ini. 

Beberapa di antaranya adalah beban di rumah tangga yang bertambah karena kebijakan bekerja di rumah dengan tugas mendampingi sekolah jarak jauh untuk anak-anak dan juga meningkatnya kekerasan di dalam rumah tangga.

Persoalan-persoalan ini telah menjadi persoalan dunia, dialami oleh negara-negara yang menghadapi pandemic ini terutama China sebagai negara pertama yang terdampak.

Mbak Leya mengutip berita di BBC.com (8 Maret 2020) tentang aktivis perempuan dari LSM Cina Weiping yang menyebutkan laporan kasus kekerasan meningkat tiga kali lipat.

Mereka menyerukan hastag #AntiDomesticViolenceDuringEpidemic dengan pesan kuat agar situasi pandemic COVID-19 tidak menjadi situasi pandemic juga bagi kekerasan terhadap perempuan dan keluarga. Dampak dari situasi ini, perceraian meningkat tajam setelah pandemic mulai berakhir.

Berdasarkan data di salah satu kota di provinsi Hunan, sejak Februari 2020, angka pendaftaran perceraian mencapai 206 dibandingkan dengan 311 perkawinan yang didaftarkan. Bahkan digambarkan staff kantor pencatatan perkawinan tidak sempat mengambil air minum karena begitu banyaknya yang mengantri untuk mendaftarkan perceraian.

Mengapa bercerai?  Selain soal kekerasan dalam rumah tangga, infidelity (ketidaksetiaan) tidak semua pasangan merasakan cinta pada masa karantina. Tapi justru sebaliknya. Mereka saling membenci. Berita tentang ini dapat dibaca di sini.

Melalui berita-berita tersebut kita dapat banyak belajar. 

Lalu, bagaimana jika ada teman/saudara kita mengalaminya? Kita bisa membantu dengan cara paling sederhana yaitu menjadi pendengar yang baik dan empatik yang memberikan dukungan moral positif bagi mereka yang menghadapi situasi yang tidak mudah di rumah mereka. Bahwa mereka tidak sendiri.

Seperti apa itu pendengar yang baik dan empatik? Ada elemen penting untuk diperhatikan ketika kita memberikan semacam pertolongan pertama untuk kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini tips dari Lembaga Kesehatan Dunia (WHO), UNWomen, dan UNFPA. Untuk memudahkan ingat soal LIVES.  Apa itu?

L-isten. Mendengarkan dengan empati tanpa menghakimi dan atau menyalahkan. Mendengarkan tanpa harus memberi bumbu-bumbu pada cerita yang disampaikan dan pertanyaan yang menyudutkan. Pernyataan yang menyudutkan/menghakimi misalnya kamu terlalu A sehingga menyebabkan terjadinya D, dan seterusnya.

I-nquire. Kita bisa bertanya tentang hal-hal yang dibutuhkan dan dikhawatirkan misalnya terkait dengan kesehatan mental anggota keluarga yang lain misalnya anak. Kita bisa berbagi sesuatu hal positif, semangat dan motivasi yang mungkin dapat  menjadi pembelajaran, tentu tanpa sekali lagi menyudutkan atau menghakimi.

V-alidate. Tunjukkan bahwa kita percaya pada apa yang disampaikan. Bahwa situasi yang dialami tidak mudah. Dan ia tidak sendiri sebab ada kita yang paling tidak menyediakan telinga untuk mendengarkan dan memberikan pendapat jika diminta.  

E-nhance safety. Pastikan ia aman, juga untuk menghindari kekerasan yang lebih buruk, yang mungkin menimpanya. Hal ini tentu saja sangat terkait dengan seberapa parah tingkat kekerasan yang dialami. Diskusikan dan cari tahu cara terbaik dan aman agar terhindar dari kemungkinan-kemungkinan yang beresiko atau mencelakakan. Terakhir,

S-upport. Bantuan untuk menghubungkan pada pihak – pihak lain untuk mendapatkan tambahan informasi, layanan konseling atau hal lainnya, jika diperlukan. Pada situasi krisis seperti ini, seluruh layanan dimaksimalkan untuk fokus pada pandemic terutama layanan kesehatan. Namun ada inisiatif-inisiatif dari kelompok masyarakat lain yang bisa kita akses.

Misalnya lembaga sosial masyarakat yang menyediakan layanan konseling seperti telah saya bagi pada tulisan sebelumnya di sini dan juga lembaga yang didukung oleh dana negara seperti Komnas Perempuan. Untuk mengakses layanan mereka dapat dilihat di sini.  

Tentang Relasi Kuasa dan Keadilan Gender 
Penting sekali menjadi catatan tingginya kasus perselisihan sampai kemudian kekerasan di dalam keluarga sering kali dipicu oleh relasi kuasa karena kebiasaan, budaya yang tak sejalan dengan kenyataan sesungguhnya dalam kehidupan yang dijalani.

Hal yang mungkin terdengar sederhana, tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di rumah. Misalnya laki-laki atau ayah tidak mau memasak atau menyiapkan makanan, bukan karena tidak bisa tapi lebih karena kebiasaan atau budaya mengatakan itu adalah tugas perempuan/ibu.

Pada kenyataannya perempuan/Ibu sedang menemani anak belajar mengerjakan tugas sekolah di rumah. Perempuan juga ada pekerjaan dari kantor yang harus juga dikerjakan. Belum lagi jika anak berkebutuhan khusus, dan seterusnya.

Belum lagi pekerjaan rumah tangga lainnya, dan seterusnya. Poin di sini adalah jika situasi beban yang berlebihan dibiarkan terus menerus bukan hanya berpotensi menimbulkan stress berat pada perempuan karena kelelahan namun juga anggota keluarga yang lain khususnya bagi anak-anak rentan mengalami masalah kesehatan.  

Gender berbicara tentang konstruksi sosial ini, bagaimana budaya membentuk dan memberitahu bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan secara sosial. Agar manusia perempuan dan laki-laki dapat mengaktualisasikan kualitas terbaiknya sebagai manusia, maka sudah semestinya kita turut mendorong keadilan gender.

Bagaimana keadilan ini diterjemahkan dalam praktek nyata di dalam unit terkecil di rumah tangga. Ibarat sebuah organisasi, ada seperangkat alat yang bekerja agar dapat mencapai misi-visi tujuan awal keluarga dibentuk. Jika salah satu pihak berjalan ke arah yang berbeda bahkan membahayakan, sebaiknya ada cara untuk memperbaikinya misalnya dengan saling bicara. 

Bicara dengan kepala dingin, tidak dengan rasa amarah. Karena rasa amarah dan juga sedih tidak akan membantu untuk mengkomunikasikan hal yang sebenarnya. Kita pasti ingin keputusan/kesepakatan apapun itu baik untuk dua belah pihak bukan?

Bagi agama-agama, lembaga keluarga diyakini sebagai katalisator untuk menyemai keadilan dan kemampuan saling menghargai antar dua jenis manusia di unit terkecil di masyarakat. Jika semangat tersebut tersemai di rumah/keluarga maka pengaruhnya akan besar bagi sebuah komunitas/masyarakat.

Mengutip kembali pendapat filosof Erich Fromm soal cinta yang berorientasi ‘memiliki’ dan ‘menjadi’ itu. Menurutnya cinta dalam perkawinan idealnya membawa kualitas cinta erotic ‘menjadi’ sebagai jalan penyatuan dua orang yang saling berserah diri. Menjadi karena ada peleburan dan penyatuan dua insan yang berbeda. Menyatu tapi tetap berbeda.

Di dalamnya mereka akan bersama-sama melahirkan kebahagiaan yang didalamnya tentu saja ada kepuasan, salah satunya kepuasan seksual. Jika kita yang menjalaninya tak bahagia, banyak kemarahan dan kesedihan, maka untuk apa?

Untuk itu, tidak mengherankan jika banyak pasangan di China seperti berita diatas memutuskan untuk berpisah saja. Semakin banyak waktu yang dihabiskan bersama, bukan semakin besar rasa cinta dan bahagia tapi sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun