Seperti apa itu pendengar yang baik dan empatik? Ada elemen penting untuk diperhatikan ketika kita memberikan semacam pertolongan pertama untuk kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini tips dari Lembaga Kesehatan Dunia (WHO), UNWomen, dan UNFPA. Untuk memudahkan ingat soal LIVES. Â Apa itu?
L-isten. Mendengarkan dengan empati tanpa menghakimi dan atau menyalahkan. Mendengarkan tanpa harus memberi bumbu-bumbu pada cerita yang disampaikan dan pertanyaan yang menyudutkan. Pernyataan yang menyudutkan/menghakimi misalnya kamu terlalu A sehingga menyebabkan terjadinya D, dan seterusnya.
I-nquire. Kita bisa bertanya tentang hal-hal yang dibutuhkan dan dikhawatirkan misalnya terkait dengan kesehatan mental anggota keluarga yang lain misalnya anak. Kita bisa berbagi sesuatu hal positif, semangat dan motivasi yang mungkin dapat  menjadi pembelajaran, tentu tanpa sekali lagi menyudutkan atau menghakimi.
V-alidate. Tunjukkan bahwa kita percaya pada apa yang disampaikan. Bahwa situasi yang dialami tidak mudah. Dan ia tidak sendiri sebab ada kita yang paling tidak menyediakan telinga untuk mendengarkan dan memberikan pendapat jika diminta. Â
E-nhance safety. Pastikan ia aman, juga untuk menghindari kekerasan yang lebih buruk, yang mungkin menimpanya. Hal ini tentu saja sangat terkait dengan seberapa parah tingkat kekerasan yang dialami. Diskusikan dan cari tahu cara terbaik dan aman agar terhindar dari kemungkinan-kemungkinan yang beresiko atau mencelakakan. Terakhir,
S-upport. Bantuan untuk menghubungkan pada pihak – pihak lain untuk mendapatkan tambahan informasi, layanan konseling atau hal lainnya, jika diperlukan. Pada situasi krisis seperti ini, seluruh layanan dimaksimalkan untuk fokus pada pandemic terutama layanan kesehatan. Namun ada inisiatif-inisiatif dari kelompok masyarakat lain yang bisa kita akses.
Misalnya lembaga sosial masyarakat yang menyediakan layanan konseling seperti telah saya bagi pada tulisan sebelumnya di sini dan juga lembaga yang didukung oleh dana negara seperti Komnas Perempuan. Untuk mengakses layanan mereka dapat dilihat di sini. Â
Tentang Relasi Kuasa dan Keadilan GenderÂ
Penting sekali menjadi catatan tingginya kasus perselisihan sampai kemudian kekerasan di dalam keluarga sering kali dipicu oleh relasi kuasa karena kebiasaan, budaya yang tak sejalan dengan kenyataan sesungguhnya dalam kehidupan yang dijalani.
Hal yang mungkin terdengar sederhana, tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di rumah. Misalnya laki-laki atau ayah tidak mau memasak atau menyiapkan makanan, bukan karena tidak bisa tapi lebih karena kebiasaan atau budaya mengatakan itu adalah tugas perempuan/ibu.
Pada kenyataannya perempuan/Ibu sedang menemani anak belajar mengerjakan tugas sekolah di rumah. Perempuan juga ada pekerjaan dari kantor yang harus juga dikerjakan. Belum lagi jika anak berkebutuhan khusus, dan seterusnya.
Belum lagi pekerjaan rumah tangga lainnya, dan seterusnya. Poin di sini adalah jika situasi beban yang berlebihan dibiarkan terus menerus bukan hanya berpotensi menimbulkan stress berat pada perempuan karena kelelahan namun juga anggota keluarga yang lain khususnya bagi anak-anak rentan mengalami masalah kesehatan. Â