Hampir seminggu berlalu sejak pemerintah menerapkan kebijakan social distancing untuk menahan laju penyebaran dan penularan virus corona, salah satunya dengan memindahkan sekolah dan bekerja dari rumah.Â
Banyak muncul keluhan, yang mungkin kita juga sudah mendengar, dari ibu rumah tangga karena beban pekerjaan di rumah tangga yang semakin besar.Â
Hal ini terjadi sebab umumnya pengasuhan anak sepenuhnya diserahkan kepada ibu/perempuan. Alangkah baiknya jika seruan bekerja/belajar di rumah juga diiringi pesan untuk pembagian peran di rumah tangga.
Bukan hanya itu. Beberapa tulisan juga telah mengingatkan dampak terburuk dari situasi saat ini akan dirasakan terutama oleh pekerja di sektor informal, penjual di pasar, pekerja harian di pabrik dan juga termasuk pekerja rumah tangga.Â
Diperkirakan terdapat 74.1 juta penduduk Indonesia bekerja di sektor ini dimana tidak ada istilah bagi mereka bekerja dari rumah.Â
Bekerja dari rumah bagi mereka adalah tidak bekerja. Dalam kondisi wabah seperti ini, dampak terburuk secara ekonomi dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat, tak terlepas mereka yang bermodal besar.
Tulisan ini bermaksud untuk berbagi pengalaman pribadi bagaimana kami di keluarga mengupayakan untuk mengurangi kerentanan para pekerja di sektor informal ini dengan mendukung kampanye pemenuhan hak untuk mendapatkan jaminan sosial terutama bagi pekerja rumah tangga.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) adalah lembaga swadaya masyarakat yang bekerja sejak tahun 2000-an untuk mengadvokasi hak-hak pekerja rumah tangga (PRT) melalui pengorganisasian, advokasi, dan kampanye termasuk untuk pemenuhan hak-hak mendasar PRT termasuk untuk jaminan sosial yang telah disebut di atas.
Advokasi juga dilakukan untuk mendorong adanya undang-undang (UU) untuk perlindungan pekerja rumah tangga dan juga mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 189Â tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.Â
Jala PRT bersama-sama dengan kelompok masyarakat sipil lainnya telah menyiapkan draft undang-undang perlindungan PRT sejak tahun 2004.Â
Draft UU ini memastikan perlindungan pekerja rumah tangga dengan kontrak yang jelas, remunerasi/upah yang sesuai dengan upah minimum wilayah, kontrak kerja dan terutama hak cuti dan libur.Â
Dasar yang diperjuangkan adalah memperlakukan PRT sebagai pekerja bukan pembantu yang dapat diperlakukan "seikhlasnya". Jala terus mengkampanyekan penyebutan PRT sebagai pekerja rumah tangga.Â
Bukan pembantu rumah tangga. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 4.2 juta orang bekerja sebagai PRT. Sudah dapat dipastikan, hampir semuanya adalah perempuan.
Pada tahun 2019 Jala PRT melakukan poll/survei di tujuh wilayah. Hasilnya, 98.2% dari 668 responden PRT menyampaikan digaji sebesar 20-30% dari upah minimum di masing-masing wilayah.Â
Hanya 42% penerima BPJS kesehatan dengan subsidi pemerintah dan tidak satu pun dari mereka memiliki jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan. Berita tentang ini dapat dibaca di sini.
Jika ditelusuri dari sejarah, PRT sudah ada sejak zaman kerajaan dalam bentuk abdi dalem, budaya ngenger dalam tradisi Jawa dan sejenisnya. Dominannya perempuan memenuhi sektor ini salah satunya disebabkan oleh stereotip pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan.Â
Pekerjaan domestik di dalam rumah tangga juga berhadap-hadapan dengan relasi keluarga, serta pendekatan kekeluargaan yang identik dengan prinsip kesukarelawanan. Apalagi posisi perempuan sebagai pekerja rumah tangga acapkali menggantikan peran ibu, istri bahkan anak.Â
Namun demikian dalam praktiknya, pergeseran distribusi pekerjaan ini hanya mempertegas peran dan fungsi orang baru dalam rumah tangga tanpa mengubah perlakuan dan posisi mereka sebagai pekerja.
Perlindungan Jaminan Sosial bagi PRT
Ada tiga orang pekerja rumah tangga di rumah kami, sebut saja namanya Maya, Lana, dan Rini. Mbak Maya bekerja mengurus pekerjaan rumah seperti mencuci, menyetrika, memasak dan membersihkan rumah. Sedangkan Mbak Lana dan Rini masing-masing menjaga anak-anak usia di bawah lima tahun.Â
Memang tidak ada kontrak tertulis. Namun kami memastikan mereka memiliki hak libur dan cuti lainnya yang diperlukan.Â
Mereka tinggal tidak jauh dari rumah kami. Datang pagi, pulang sore/petang. Mbak Maya bekerja kurang lebih 5-6 jam/hari. Sedangkan Lana dan Rini selama kurang lebih 8 jam/hari.
Maya libur seminggu satu kali dan punya hak libur/cuti yang lain. Lana dan Rini libur dua hari (Sabtu dan Minggu) dalam seminggu. Untuk pengasuh anak, pembagian waktu cukup fleksibel, namun dipastikan bahwa hal ini tidak mengurangi hak-hak mendasar mereka.
Bagaimana soal gaji? Memang belum sesuai standar upah minimum di wilayah kami namun lebih tinggi dari hasil survei Jala PRT di atas yaitu sebesar kurang lebih 55% dari standar upah minimum di wilayah kami.Â
Mereka juga mendapatkan tunjangan hari raya. Ketiga PRT kami tersebut juga menyampaikan mendapatkan upah lebih tinggi di tempat kami dibandingkan tempat kerja mereka sebelumnya.
Karena kampanye Jala PRT, baru-baru ini kami telah mendaftarkan dua diantara mereka sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Kami juga pastikan mereka telah memiliki jaminan BPJS Kesehatan.Â
Kepesertaan ini meliputi tiga manfaat: Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Kita sangat berharap jaminan sosial di negeri ini pun semakin baik kualitasnya seperti yang disampaikan di berita ini, sehingga para pekerja seperti Mbak Maya dan juga tentu saja saya dapat merasakan manfaat terbesarnya.
Ikuti saja tahapan dan petunjuk di sana, terdapat pilihan untuk pekerja sektor informal termasuk untuk Pekerja Rumah Tangga. Teman saya di kantor, telah melakukannya.Â
Proses tidak lebih dari 10 menit. Cepat dan mudah. Bahkan teman saya menerapkan sistem pembagian pembayaran dan juga mengajari dua PRT-nya untuk mengunduh aplikasi BPJSTKU di telepon genggam mereka termasuk membuat email dan cara pembayaran.Â
Hal ini dimaksudkan, mereka akan tetap melanjutkan pembayaran iuran walaupun tidak lagi bekerja di tempat teman saya ini.
Mbak Maya sudah cukup lama bekerja sebagai PRT, berpindah tempat dan majikan. Ia lahir dari pasangan buruh tani di salah satu kabupaten di Jawa Tengah.Â
Karena kemiskinan, Mbak Maya telah bekerja sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) dengan membantu ibu-nya berjualan di pasar. Pendidikan SD pun tak sampai diselesaikannya. Ia mengenal huruf tapi tak lancar membaca dan kesulitan untuk menulis.
Tak pernah terbersit untuk mendapatkan jaminan sosial. Ia hanya tahu hidup untuk bekerja yang ia bisa dan memenuhi kebutuhan makan hari itu, sambil berupaya menyisakan sedikit dari sisa ia bekerja untuk disimpan, untuk masa depan terutama anaknya.Â
Bukan disimpan di tabungan di bank. Sebab ia tak pernah mengenalnya. Baru setelah bekerja di tempat saya ia mengenal bank dan tabungan. Menjelang usia 50 tahun, ia baru memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan ini. Jika pembangunan adalah pemerataan, sungguh jauh jaraknya untuk Mbak Maya.
Sebetulnya saya agak terlambat mendaftarkannya karena sudah beberapa tahun, mungkin hampir 5 tahun, Mbak Maya bekerja di rumah kami. Namun baru beberapa bulan ini ia bekerja penuh dimana tahun-tahun sebelumnya hanya dua sampai tiga jam saja.Â
Saya sudah lama hendak mendaftarkannya namun karena satu dan lain hal termasuk lupa, selalu terlewat. Inilah pentingnya lembaga swadaya masyarakat seperti Jala PRT yang selalu menyuarakan dan mengingatkan bahwa ada kelompok yang sepi perhatian dan rentan terabaikan hak-hak mendasarnya.
Dalam situasi yang penuh kerentanan seperti ini, disamping saling mengingatkan, juga yang pasti memastikan bahwa kerentanan ini dapat kita tekan seminimal mungkin dengan memastikan bahwa ada hak-hak orang lain yang harus kita penuhi.
Itulah esensi kita ada, memastikan hidup yang berkelanjutan dan saling memanusiakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H