Dasar yang diperjuangkan adalah memperlakukan PRT sebagai pekerja bukan pembantu yang dapat diperlakukan "seikhlasnya". Jala terus mengkampanyekan penyebutan PRT sebagai pekerja rumah tangga.Â
Bukan pembantu rumah tangga. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 4.2 juta orang bekerja sebagai PRT. Sudah dapat dipastikan, hampir semuanya adalah perempuan.
Pada tahun 2019 Jala PRT melakukan poll/survei di tujuh wilayah. Hasilnya, 98.2% dari 668 responden PRT menyampaikan digaji sebesar 20-30% dari upah minimum di masing-masing wilayah.Â
Hanya 42% penerima BPJS kesehatan dengan subsidi pemerintah dan tidak satu pun dari mereka memiliki jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan. Berita tentang ini dapat dibaca di sini.
Jika ditelusuri dari sejarah, PRT sudah ada sejak zaman kerajaan dalam bentuk abdi dalem, budaya ngenger dalam tradisi Jawa dan sejenisnya. Dominannya perempuan memenuhi sektor ini salah satunya disebabkan oleh stereotip pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan.Â
Pekerjaan domestik di dalam rumah tangga juga berhadap-hadapan dengan relasi keluarga, serta pendekatan kekeluargaan yang identik dengan prinsip kesukarelawanan. Apalagi posisi perempuan sebagai pekerja rumah tangga acapkali menggantikan peran ibu, istri bahkan anak.Â
Namun demikian dalam praktiknya, pergeseran distribusi pekerjaan ini hanya mempertegas peran dan fungsi orang baru dalam rumah tangga tanpa mengubah perlakuan dan posisi mereka sebagai pekerja.
Perlindungan Jaminan Sosial bagi PRT
Ada tiga orang pekerja rumah tangga di rumah kami, sebut saja namanya Maya, Lana, dan Rini. Mbak Maya bekerja mengurus pekerjaan rumah seperti mencuci, menyetrika, memasak dan membersihkan rumah. Sedangkan Mbak Lana dan Rini masing-masing menjaga anak-anak usia di bawah lima tahun.Â
Memang tidak ada kontrak tertulis. Namun kami memastikan mereka memiliki hak libur dan cuti lainnya yang diperlukan.Â
Mereka tinggal tidak jauh dari rumah kami. Datang pagi, pulang sore/petang. Mbak Maya bekerja kurang lebih 5-6 jam/hari. Sedangkan Lana dan Rini selama kurang lebih 8 jam/hari.
Maya libur seminggu satu kali dan punya hak libur/cuti yang lain. Lana dan Rini libur dua hari (Sabtu dan Minggu) dalam seminggu. Untuk pengasuh anak, pembagian waktu cukup fleksibel, namun dipastikan bahwa hal ini tidak mengurangi hak-hak mendasar mereka.