Oleh:
Lisa Kiranti1, Prof. Dr. Rosmawaty Harahap, M.Pd.2
Pendahuluan
Apakah kamu pernah mendengar kakek dan nenekmu atau kedua orang tuamu ketika menceritakan sebuah dongeng, legenda, bahkan mengujarkan pepatah tradisional saat bersamamu. Ya, benar sekali para orang tua telah mewariskan turun-temurun tradisi yang mereka dapatkan juga dari leluhur mereka. Terkadang segala cerita dan ungkapan yang mereka wariskan kita percayai dan bahkan kita sebar lagi cerita dan ungkapan ini dengan orang lain. Saat berbicara tentang tradisi turun temurun ini, maka kita juga perlu mengetahui bahwa hal tersebut merupakan bagian dari folklor. Istilah folklor di kalangan umum masihlah asing dan jarang terdengar. Orang-orang hanya mengetahui bagian-bagian dari folklor itu sendiri. Nah yang jadi pertanyaan adalah apakah yang dimaksud dengan folklor? Menurut Alan Dundes yang mendefinisikan folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu "Folklore". Kata ini adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu 'folk' dan 'lore'. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore diartikan sebagai tradisi. Yang dimaksud dengan kebudayaan yang diwariskan secara turun-menurun baik melalui lisan ataupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Folklor merupakan khazanah sastra lama. Folklor akan mengkaji masalah kepercayaan rakyat, adat kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesustraan rakyat, nyanyian dan musik rakyat, tarian, dan drama rakyat, kesenian rakyat, serta pakaian rakyat. Folklor dianggap penting karena kepercayaan ini telah menjadi suatu tradisi, yakni kebiasaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama mereka.
Menurut pendapat Danandjaja (Mana & Samsiarni, 2018: 4-5), ciri-ciri pengenal utama pada folklor adalah dapat dirumuskan sebagai berikut.
- Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
- Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
- Folklor ada (esixt) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses interpolasi (interpolation).
- Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
- Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
- Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
- Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum.
- Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
- Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Ciri pengenal utama folklor di atas sebagai masyarakat yang memiliki tradisi lisan, sebagai lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan akan dapat ditentukan mana dari kebudayaan tersebut yang merupakan kajian folklor.
Folklor tentu saja memiliki kegunaan penelitian. Fungsi penelitian folklor menurut William R. Bascom (Mana & Samsiarni, 2018) ada empat yaitu:
- Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif.
- Sebagai alat pengesahan pranata-pranata  dan lembaga-lembaga kebudayaan.
- Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device).
- Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota masyarakat.
Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari AS, membagi folklor menjadi tiga bagian besar: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore) (Danandjaja, 1986: 21)
Terkait dengan tema esai ini adalah kebermanfaatan folklor lisan sebagai media pendidikan, maka yang haru kita definisikan selanjutnya adalah folklor lisan. Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Adapun bentuk-bentuknya (genre) antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa dan pepatah; (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan (f) nyanyian rakyat.
Salah satu fungsi dari folklor adalah sebagai media pendidikan. Hal ini dapat menjadi sebuah pertanyaan bagaimana kebermanfaatan folklor lisan sebagai media pendidikan? Folklor digunakan sebagai media pendidikan untuk menyampaikan pelajaran kepada murid guna mempermudah proses belajar-mengajar. Folklor sebagai sebuah media strategis untuk menyampaikan ide cemerlang dalam seluruh aspek kehidupan.
Pembahasan
Folklor lisan dapat menjadi media strategis untuk menyampaikan ide yang cemerlang. Pada media pendidikan, folklor dikaitkan dengan materi pelajaran. Kebermanfaatan folklor adalah membantu guru dalam menyampaikan materinya. Contoh mata pelajaran yang memanfaatkan folklor lisan adalah mata pelajaran seni dan Bahasa Indonesia. Media pendidikan dimanfaatkan sebagai alat bantu memberikan informasi yang menarik dan kreatif. Jika pembelajaran sudah mencapai titik di mana adanya antusias dari siswa maka fungsi media pendidikan telah tercapai.
Pendapat saya, melalui folklor lisan maka secara langsung kita telah melestarikan budaya lokal turun-temurun dari lelulur. Bukankah ini bagus? Mari kita perhatikan generasi muda sekarang yang mulai melupakan warisan leluhur dari nenek moyang. Jika mereka lupa, maka lama-kelamaan identitas budaya kita akan terancam dan bahkan hilang.
Folklor bukan hanya didapatkan dari pembelajaran di sekolah saja, tetapi lingkungan keluarga pastinya menjadi wadah yang paling dekat dalam folklor lisan. Sebagai contoh ungkapan yang berasal dari suku Batak, yang berbunyi:
Adong sinuan
Adong gotilon
Yang memiliki makna apabila kita berbuat baik, maka kita menerima hal yang baik juga. Ungkapan ini sama dengan ungkapan yang familiar sering kita dengar yakni "ada ubi ada talas, ada budi ada balas."
Berdasarkan ungkapan di atas bisa diperjelas bahwasanya melalui folklor lisan sebagai media pendidikan dapat menumbuhkan sikap baik. Beberapa orang akan menganggap bahwa ungkapan ini akan berlaku bagi hidupnya jika dipraktekkan. Selain media pendidikan terjalankan, ada juga nilai karakter yang terkandung. Ungkapan adat atau daerah jika kita sering simak dan sebarkan maka lama-kelamaan akan mengurangi rasa terancam punah. Folklor ungkapan bisa disampaikan saat proses belajar-mengajar dengan harapan siswa belajar dan menanamkan kebaikan yang terkandung.
Seorang guru bisa mengambil cerita rakyat yang berasal dari daerahnya. Misalnya cerita rakyat 'Terjadinya Danau Toba dan Pulau Samosir'. Cerita rakyat suku Batak ini sangatlah melegenda di provinsi Sumatera Utara. Cerita rakyat ini telah banyak ditampilkan dalam media pembelajaran. Alkisah cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Toba dan putri dari kayangan. Pernikahan ini akan dilakukan dengan syarat bahwa Toba harus merahasiakan identitas istrinya. Waktu berlalu dan pernikahan mereka menghasilkan seorang anak yang bernama Samosir. Hingga pada suatu hari, klimaks dari cerita rakyat ini adalah Samosir sang anak memakan masakkan titipan ibunya untuk ayahnya. Kejadian ini membuat Toba langsung naik darah dan memaki anaknya. Tanpa sengaja dia pun mengumpat bahwa menyebut Samosir anak ikan. Toba telah melanggar janji dan membuat istrinya kecewa. Berbagai permintaan maaf tidak digubris. Setelah, kepergian putri pulang ke kayangan, maka turunlah hujan yang deras. Lama-kelamaan terbentuklah danau yang disebut 'Danau Toba'.
Cerita rakyat di atas menunjukkan bahwa pentingnya untuk menjaga janji dan tidak melanggarnya. Nasihat kedua adalah janganlah mengumpat sembarangan kepada orang, karena hal tersebut dapat membuat orang sakit hati, marah, dan kecewa.
Media pendidikan yang memanfaatkan folklor lisan seperti ungkapan di atas setelah diberikan kepada siswa, maka kita dapat meminta anak-anak untuk menceritakan cerita rakyat dan ungkapan yang pernah mereka dengar. Pembelajaran ini mengasah keberanian, percaya diri, dan wawasan. Kebermanfaatan folklor lisan adalah media pendidikan terbaik untuk memperkenalkan seni dan bahasa. Untuk pemakaian ungkapan tradisional sebagai media pendidikan dapat digunakan ketika pembelajaran menjelaskan konsep nilai dan norma sosial budaya dalam bidang pelajaran antropologi.
Penutup
Folklor lisan sangatlah bermanfaat sebagai media pendidikan. Siswa akan belajar warisan leluhur di negeri ini melalui folklor lisan. Di satu sisi, hal ini bisa menjadi strategi mempertahan warisan leluhur dari nenek moyang. Berbagai contoh folklor lisan yang bisa digunakan untuk media pendidikan adalah legenda, mite, dongeng, ungkapan, pepatah, dan lain-lain. Manfaatnya ini juga dapat terlihat dari nilai karakter yang mulai tumbuh dari diri siswa. Banyak sekali manfaat folklor lisan bagi mata pelajaran lainnya, selain bahasa Indonesia dan Seni.
Â
Daftar Pustaka
Danandjaja, James. (1986). Folklor Indonesia. Jakarta Utara: Anggota IKAPI.
Dundes, Alan. (1965). Interpreting Folklore. Bloomington: Indiana University  Press.
Manuturi, Sophar Simanjuntak Ompu. (2015). Folklor Batak Toba. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H