Kusta juga, menurut Paulan, distigmatisasi sebagai akibat dari teluh atau "diguna-guna". Penderitanya tidak jarang diperlakukan kasar, dianggap menjijikkan, menakutkan, sehingga mereka pun sulit dapat pekerjaan, bahkan dianggap tidak berguna, banyak dosa juga aib, dianggap berpola hidup "kotor" dan stigma buruk lainnya.
Mengapa ada stigma pada kusta?
Paulan menjelaskan, karena kurangnya informasi atau pengetahuan yang benar tentang kusta. Stigmatisasi kusta muncul karena perbedaan yang tidak wajar atau penyimpangan sosial. Ini terlihat dari disabilitas dan kelainan lain (reaksi) baik selama maupun setelah terapi obat. Kusta menyerang tubuh dan mental sekaligus. Ini disebut Stigma Diri, dimana mengganggu mental si penderita dalam hal harapan, cita-cita, relasi sosial. Lalu Stigma Sosial dimana mengganggu mental lingkungan sekitar (keluarga, malu, aib rekan, menular, khawatir).
Pentingnya menghapus stigma dan diskriminasi penderita kusta juga digaungkan Duta Persahabatan WHO untuk Eliminasi Kusta, Yohei Sasakawa.
Menurutnya, diskriminasi ini telah ada di seluruh dunia sejak zaman Perjanjian Lama hingga saat ini, tanpa memandang ras atau negara. Bagi banyak orang yang terkena kusta, diskriminasi tidak berakhir begitu mereka sembuh.
"Dan itu memberi tahu saya bahwa masyarakat memiliki penyakit. Saya yakin jika kita bisa menyelesaikan masalah diskriminasi pada kusta, ini bisa menjadi model untuk menyelesaikan semua masalah hak asasi manusia di dunia," tuturnya.
Selama bertahun-tahun, lanjut Yohei, dirinya telah bertemu dengan ribuan pasien kusta dan tidak pernah menderita kusta. "Namun, yang membuat kusta menjadi tantangan adalah diskriminasi yang menyertainya---diskriminasi yang telah diakui sebagai isu hak asasi manusia oleh PBB," ujarnya.
Oleh karena itu, Yohei menuturkan lagi, inti dari menemukan solusi untuk tantangan ini adalah orang-orang yang terkena kusta itu sendiri.
Agar dapat melakukan kegiatan penemuan kasus yang terganggu oleh pandemi COVID-19 secara efektif, mereka perlu terlibat dan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan mereka. "Penting juga bahwa mereka aktif di media sosial dan berbicara menentang diskriminasi," harapnya.