Barack Obama (Demokrat) menjalani rally debat yang melelahkan melawan John McCain (Republik), pada 2008. Ketika Pemilu dilaksanakan 4 November, Obama menang dan resmi menjabat Presiden Amerika Serikat ke-44. Lalu, pada 20 Januari 2009, Obama diambil sumpahnya.
Tak banyak yang tahu, Obama begitu disiplin mempersiapkan diri, acapkali debat calon presiden digelar. Evan Thomas dalam bukunya "A Long Time Coming" mengungkapkan, Obama menyiapkan diri seperti mau menempuh ujian akhir, tak ada rincian yang terlewatkan. Cermat lagi tekun.
Obama yang tidak ingin gagal, giat belajar hadapi debat. Ia menghafalkan rincian sistem persenjataan baru agar tidak tampak seperti orang awam dalam isu pertahanan nasional. Tantagan terberatnya, tulis Thomas, bukan pada pemahaman atas rincian kebijakan atau struktur belanja pertahanan itu. Melainkan, karena Obama perlu menunjukkan sesuatu, di luar kata-kata dengan penampilan seorang komandan tulen. Sesuatu itu adalah yang dahsyat efeknya. Para penasehatnya selalu mengingatkan, Obama harus tampil "presidensial".
Tak hanya itu, para penasehat Obama juga senantiasa cerewet untuk mengingatkan Obama agar jangan bersikap personal. Selalu tenang dan terkendali. Dan, selalu tunjukkan kenegarawanan. Kata para penasehat, "Pemilih tahu Anda mewakili perubahan; kini saatnya Anda harus meyakinkan mereka dengan menunjukkan diri Anda sebagai sosok presiden." (hal. 163)
Dari kisah Obama ini, kita jadi mahfum, debat Capres tak sesederhana seperti yang kita tonton, dan sering pula kita olok-olok atau justru elu-elukan. Obama begitu keras persiapannya.
Lalu, bagaimana dengan McCain? Hal yang sama dilakukannya. Ia berlatih banyak dan terbukti pada hari pertama debat di Mississipi, McCain sering menyerang Obama, bahkan menyebut gagasan-gagasan pesaingnya itu sebagai "naf" dan "berbahaya". Tapi, Obama hanya tersenyum santai dan tidak terpancing.
Dampaknya negatif bagi McCain. Karena justru lawannya, Obama, menjadi terlihat tampil lebih "presidensial".
Ketika kubu McCain mengevaluasi tayangan video debat, seorang penasehat menanyakan kepada McCain, "Mengapa Anda tidak pernah menatap Obama?" McCain gusar, emosi dan berkata, "Karena kalian yang menyarankan!"
Jawaban McCain memang benar. Pelatih debat Brett O'Donnell berkali-kali mengingatkan McCain, bahwa Obama cenderung menatap langsung lawannya ketika menyerang. Karena itu, O'Donnell menasehati McCain agar jangan membalas tatapan Obama supaya jangan terpengaruh. Jelas, ini salah paham. McCain mengartikan imbauan jangan menatap Obama secara apa adanya. Sedangkan pelatih debatnya berdalih, bukan begitu yang seharusnya dipraktikkan. Selain kesalahkaprahan ini, McCain sendiri bermasalah. Ia sudah seringkali menjadi narasumber talkshow di televisi, dan ia terbiasa memandang ke kamera, bukan kepada lawan bicara. Inilah kebiasaan McCain, yang akhirnya merugikan saat debat melawan Obama.