Sejak konflik Palestina dan Israel meletus dan menjadi tragedi kemanusiaan pada Oktober 2023, masyarakat Indonesia mulai bergerak melakukan boikot pada produk-produk berafiliasi Israel. Â Dengan banyaknya konsumen yang mulai sadar dan beralih pada produk lokal yang dirasa lebih halal, produk yang terdampak, seperti McDonalds's, Strarbucks, dan Unilever mulai ditinggalkan. Dikabarkan bahwa produk yang terdampak meliputi produk untuk kebutuhan Ibu dan anak, makanan dan minuman, dan produk kesehatan.
Walaupun boikot sedikit banyak berdampak pada pengusaha lokal yang menyalurkan produknya atau menjadi pekerja pada produk tersebut, hal ini mungkin dapat menjadi titik total yang baik untuk kemandirian bangsa.
Kemandirian bangsa sendiri sudah dicanangkan sejak Indonesia merdeka dan dituangkan dalam komitmen pemerintah lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Hal ini berarti komitmen kita sudah berlangsung hampir 20 tahun. Sampai 2024, data menunjukkan bahwa Indonesia masih 65% impor produk pangan, 90% impor produk bahan baku obat. Kabar baik muncul dari pasar dalam negeri kosmetik, dimana kosmetik lokal menguasai 53% pasar dalam negeri.Â
Dengan kata lain, dalam rentang waktu 19 tahun dari tahun 2005 hingga 2025, walaupun terdapat kenaikan pada nilai kecukupan produk untuk dalam negeri, dominasi masih terjadi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri lewat impor.
Kemandirian bangsa sendiri diartikan sebagai kemampuan bangsa Indonesia untuk bertindak dan mengambil keputusan sendiri tanpa diatur pihak lain. Kemandirian bangsa penting karena Indonesia dapat mengelola secara berdaulat keunggulan geografi, demografi, dan semua potensi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, kemandirian bangsa harus terus dibangun untuk persaingan global.Â
Kemandirian bangsa salah satunya tercermin pada keyakinan kuat bahwa kita mampu berdiri sendiri. Kemandirian bangsa dapat diwujudkan dengan membangun benteng perekonomian yang kuat dan tahan goncangan. Hal ini dapat berupa pengurangan ketergantungan impor pada komoditas strategis seperti pangan (beras, gandum, jagung, gula, dll.) dan komoditas energi (minyak dan gas); pengurangan ketergantungan ekspor komoditas mentah; serta mendorong pola ekspor produk mentah menjadi produk jadi yang lebih dapat bersaing harga di pasar internasional.
Namun, kemandirian ini belum terwujud dengan tingginya impor dan belum produksi industri dalam negeri tercukupinya kebutuhan dalam negeri. Kondisi yang dapat menyebabkan kita tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan produk sendiri diantaranya adalah inovasi yang masih, SDM, keinginan membeli produk sendiri yang masih rendah. Di sisi lain, keran impor tidak dapat disumbat karena adanya perjanjian perdagangan bebas. Dengan adanya boikot terhadap produk Israel, produk dalam negeri berkesempatan menjadi substitusi.Â
Ada beberapa hal strategis yang bisa dilakukan agar prevalensi impor bisa ditekan semaksimal mungkin. Pertama adalah tentunya terus melakukan inovasi dalam bidang IPTEK. Hal ini diwujudkan dengan adanya inovasi dalam bidang apapun pada bidang pendidikan dan penelitian. Mindset kita yang selalu meniru dan konsumtif harus diubah, bahwa kita juga dapat berperan untuk melakukan perbaikan dan temuan yang baik di sekitar kita. Walaupun demikian, anggaran penelitian di negara kita terbilang sangat rendah, yaitu 0,24%, dimana masih jauh dari rasio minimal 1%.
Inovasi tersebut juga harus dapat bersaing dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penguatan harus selalu dilakukan terhadap kolaborasi dan sinergitas antar sektor seperti A-B-C-G (akademik-bisnis-komunitas-dan pemerintah). Hasil-hasil penelitian yang ada pada perguruan tinggi baiknya dapat digunakan oleh Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Sejauh ini program yang dibuat oleh pemerintah maupun CSR dari DUDI sudah mulai mengarah pada industrialisasi hasil inovasi, misalnya dengan program Kedaireka yang digagas Kemendikbud, sehingga perlu dilanjutkan.
Selain itu, mindset cinta produk tanah air yang agaknya masih menjadi angin lalu, perlu lebih gencar ditegakkan. Dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, seharusnya Indonesia dapat menjadi pasar untuk produk-produk tanah air. Namun, masyarakat masih mudah tergiur dan mengidolakan produk luar, seperti mudahnya rakyat mengidolakan bahkan membeli semua merchandise artis k-pop. Untuk kasus ini, sepertinya kita perlu lebih melakukan inovasi dalam hal pemasaran produk dalam negeri, sehingga menjadi primadona di negeri sendiri. Hal ini sudah dibuktikan oleh PT. Paragon Technology & Innovation dengan produk kosmetik Wardah, yang dengan pemasaran dan brandingnya, pemasarannya di dalam negeri bahkan lebih tinggi dibandingkan produk luar.