Pasalnya, Oxfam Indonesia memang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan kaum rentan agar dapat menikmati penghidupan yang layak. Melalui berbagai komunitas lokal, Oxfam juga mendorong berbagai upaya adaptif dengan melakukan kegiatan-kegiatan pengelolaan resiko bencana yang dipadukan dengan komponen adaptasi perubahan iklim, kesiapsiagaan bencana hingga konsep pertanian yang adaptif. Kini berbagai program Oxfam juga mencakup hak-hak perempuan dan kelompok rentan dalam krisis hingga menyorot pada keadilan gender keadilan ekonomi.
Lantas Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Mendukung Transisi Energi Global?
Saya percaya, semua orang dapat berpartisipasi dalam perjuangan transisi energi global. Perannya pun bisa berbeda satu sama lain. Ada yang memulainya dengan memilah sampah rumah tangga untuk meminimalisir timbulnya gas metana akibat timbunan sampah organik yang menumpuk di tempat pembuangan akhir. Ada yang memulainya dengan menggunakan bahan bakar minyak dengan nilai oktan yang lebih baik atau malah berpindah menggunakan transportasi umum untuk keperluan sehari-hari. Ada pula yang memulainya dengan menggalakkan sustainable fashion pada setiap pakaian yang tengah dikenakan.
Ada yang lain? Tentu! Berikut hal-hal kecil lain berdampak besar yang bisa kita lakukan untuk mensupport pemanfaatan energi terbarukan. Pertama, dalam mensupport pemanfaatan energi angin, alih-alih menggunkan garam dari luar negeri, saya lebih memilih menggunakan garam laut asli Indonesia. Sejak pandemi kemarin saya mulai merolling penggunaan garam laut lokal untuk memenuhi kebutuhan dapur. Kalau beberapa waktu yang lalu saya memasak dengan Garam Kusamba dari Bali, bulan ini saya menggunakan Garam Vulkanik dari Grobogan.
Senang rasanya menemukan citarasa garam laut lokal yang gurih dan kaya akan mineral. Selain menambah enak hasil masakan, garam natural juga cocok digunakan untuk balancing rasa saat mengonsumsi berbagai jenis buah seperti semangka, buah naga, jambu kristal hingga nanas. Di sisi lain, penggunaan garam lokal tentu dapat membantu pemulihan ekonomi selepas pandemi.
Wujud partisipasi saya dalam mewujudkan nol emisi juga saya lakukan dengan memperbanyak konsumsi pangan lokal, seperti nasi jagung, aneka olahan singkong seperti tiwul, gatot, mie pentil dan mie lethek hingga minyak kelapa khas Bantul. Kabupaten tempat saya tinggal. Ternyata, waktu saya scroll berbagai foto makanan tradisional khas Bantul tersebut, semua penjualnya adalah perempuan! Tidak percaya? Ini buktinya!
Bahkan satu diantaranya ada yang masuk kategori lansia. Benar kiranya jika keberpihakan kita pada proses transisi energi bisa dimulai dari pilihan pangan yang dihadirkan lewat meja makan. Selebihnya, bisa teman-teman kreasikan sesuai kebutuhan dan dan dana yang dianggarkan. Semoga sebutan perempuan-perempuan penjaga alam pada diri kita tidak hanya sebatas slogan, tetapi menjadi tujuan yang tidak akan hilang ditelan jaman.