Mohon tunggu...
Retno Septyorini
Retno Septyorini Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan, sering jalan ^^

Content Creator // Spesialis Media IKKON BEKRAF 2017 // Bisa dijumpai di @retnoseptyorini dan www.retnoseptyorini.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bahu-Membahu Mewujudkan Lingkungan Sustainable yang Lebih Layak Huni

6 Februari 2024   23:57 Diperbarui: 7 Juni 2024   21:21 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita mungkin sepakat bahwa tidak semua orang mampu membangun rumah modular yang minim sampah konstruksi. Namun sebagai bagian dari populasi yang sehat akal budi, sudah seharusnya kita membangun kesadaran pribadi untuk memilah, atau bahkan mengolah sampah domestik sendiri. Biopori-biopori di atas saya maknai sebagai wujud kepedulian dalam menyambut Hari Peduli Sampah Nasional yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Semoga dengan mengingat tragedi meledaknya TPA Leuwigajah yang merenggut ratusan korban jiwa tersebut menyadarkan kita untuk senantiasa bijak dalam mengelola sampah.

Jadi, meski kondisi ekonomi membuat sebagian dari kita belum memungkinkan untuk memasang solar home system pribadi atau membeli alat transportasi listrik yang lebih rendah emisi, tetapi semangat mewujudkan lingkungan sustainable yang lebih layak huni harus menjadi prioritas yang tidak bisa ditunda barang sehari.  Alasannya sederhana saja. Karena udara yang segar, juga tersedianya air, bahan pangan serta tempat tinggal yang memenuhi standar kesehatan merupakan kebutuhan dasar dalam setiap nafas peradaban.

Sayangnya, kebutuhan primer di atas kini menjelma sebagai barang langka yang susah didapat. Satu diantaranya terjadi karena kondisi lingkungan yang kian tercemar akibat “suntikan” polusi yang tiada henti. Di Indonesia sendiri, pencemaran lingkungan menjadi pemandangan yang jamak ditemukan, mulai dari tepian jalan, kawasan sekitar pemukiman hingga merembet ke area persawahan di tengah pedesaan.

Dokpri
Dokpri

Iya. Teman-teman tidak salah baca. Kini masalah pengelolaan sampah tidak hanya menjadi momok di kawasan perkotaan saja, tetapi sudah menjelma menjadi problematika hingga ke pelosok desa. Satu diantaranya bahkan sempat saya abadikan karena terjadi di dekat rumah saya di Jogja sana. Segarnya udara pagi selepas hujan ternyata menyisakan pemandangan sukar dilupakan. Pasalnya saluran irigasi di area persawahan yang berjarak 47 langkah dari tempat tinggal saya mendadak dipenuhi gunungan sampah anorganik yang kebanyakan berasal dari sampah kemasan berbahan dasar plastik.

Bu RT saya sampai mengeluh kalau seharian kemarin waktunya habis hanya untuk memungut sampah dari area sawah yang akan ia tanami. “Baru kemarin dibersihkan, ternyata besok paginya ada lagi. Sampah bawaan tersebut mengalir bersama dengan air dari saluran irigasi”, ujarnya pada saya. Orang-orang menyebutnya dengan istilah sampah bawaan. Karena satu aliran irigasi, hal senada juga dialami oleh tetangga-tetangga saya, termasuk simbah puteri dan Pak Gito. Seorang kawan bapak yang setia menjalani profesi sebagai petani.

Dokpri
Dokpri

Saat saya tanya sejak kapan fenomena sampah bawaan semacam ini terjadi, pria berusia 73 tahun tersebut menjawab, “Parah-parahnya sejak terjadi pandemi, mbak”. Artinya permasalahan sampah ini memang sudah lama mendera, hanya saja sejak pandemi melanda, pengelolaan sampah diasa kian memburuk saja. Padahal area sawah di samping rumah saya itu baru saja melewatkan satu kali musim tanam dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. Kok ya saat air untuk irigasi datang, bonusan yang didapat verupa berupa sampah yang jumlahnya “segudang”.

Kondisi ini diperparah dengan membludaknya jumlah sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan. Overload muatan inilah yang membuat TPST Piyungan sempat ditutup sementara waktu pada September 2023 lalu. Karena kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah kasih kurang, penutupan TPST Piyungan tentu memiliki efek domino yang cukup panjang. Satu diantaranya adalah maraknya fenomena pembuangan hingga pembakaran sampah liar di sekitar Jogja.

Dokpri
Dokpri

Potret sampah di atas misalnya. Pemandangan yang saya ambil pada Rabu, 17 Januari ini tentu menyiratkan banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang wajib dirembug bersama. Salah satunya adalah sinergi dalam menjaga muara limbah domestik kita. Selain dikenal sebagai kota pelajar, sematan kota wisata tentu menambah panjang daftar PR untuk Jogja. Pasalnya sepanjang tahun 2022 saja, Dinas Pariwisata Yogyakarta mencatat kunjungan wisatawan sebesar 7,4 juta orang.

Kalau kita memakai data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020 yang menyatakan total sampah nasional mencapai 67,8 juta ton. Artinya dalam sehari, 270 juta penduduk Indonesia menghasilkan sampah sebesar 185.753 ton atau 0,68 kilogram per individu. 

Hitungan kasarnya, sumbangan sampah dari sektor pariwisata di Jogja tahun 2022 saja mencapai 5,032 juta kilogram. Ini belum ditambah dengan sampah dari warga lokal Jogja. Tidak heran jika sampah menjadi isu lingkungan Jogja yang hangat diperbincangkan lintas musim.

Lantas, “Kemana saja akhirnya sampah domestik kita bermuara?”. Kalau pertanyaan tersebut ditujukan pada saya, maka saya akan menjawabnya dengan menceritakan gaya hidup minimalis yang saya jalani sejak pandemi. Dalam rangka meminimalisir sampah organik dari rumah, saya mulai menerapkan pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Penurunan penghasilan yang signifikan selama pandemi membuat saya lebih ketat dalam berbelanja. Prinsip belanja seperlunya lalu konsumsi sebaik-baiknya ini kini malah menjadi life style yang saya jalani sekaligus saya syukuri.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Beberapa tahun terakhir saya kembali dekat dengan kebiasaan bercocok tanam yang sudah lama saya tinggalkan. Halaman yang luasnya tidak seberapa itu akhirnya menjadi habitat yang baik bagi puluhan tanaman pangan yang terbilang tidak “memakan” lahan. Dari deretan bumbu ada daun salam, serai, cabai, empon-empon hingga merica. Dari label sayur-mayur ada daun bawang, kucai, pare, adas, bayam brazil, tanaman ginseng jawa, katuk, kelor,daun pepaya hingga daun singkong. Tinggal dirolling saja sesuai kebutuhan.

Dokpri
Dokpri

Selain itu ada pula tanaman lemon, jambu merah, srikaya hingga buah-buah lucu yang jarang saya temui seperti delima, murbei, cokelat hingga dewandaru. Lumayan banget punya kulkas hidup yang dapat dipanen sewaktu-waktu. Kalaupun ada sisa makanan di rumah, biasanya saya “daur ulang” pada hari berikutnya. Kalau sisanya berupa nasi, saya kerap menyulapnya menjadi lontong, nasi goreng, bubur atau sego godhog. Saya agak bergidik mendapati data bahwa di tahun 2020 silam Indonesia menduduki peringkat 4 food waste terbanyak di dunia dengan jumlah sampah makanan dari sektor rumah tangga mencapai 20,94 juta metrik ton.

Fakta di atas tentu patut menjadi pertimbangan kita untuk kian bijak dalam mengelola sumber pangan yang ada, bukan? Pasalnya, selain dapat menimbulkan polusi udara, sampah makanan yang membusuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berpotensi melepaskan metana dalam jumlah yang besar. Selain dapat merusak lapisan ozon, gas metana merupakan salah satu emisi gas rumah kaca dengan dampak yang sangat merusak. Tentu kita tidak mau mengulangi tragedi ledakan di TPA Leuwigajah yang merenggut hingga 157 korban jiwa itu, bukan?

Dokpri
Dokpri

Padahal kalau mau sedikit saja bergerak untuk mengurus sampah organik harian, kita dapat meminimalisir dampak kerusakan lingkungan sekaligus berpotensi untuk mendulang cuan. Di rumah saya, sampah makanan yang sudah tidak memungkinkan dimasak ulang akan berakhir menjadi pakan ayam. Begitu pula dengan sayuran mentah berumur tua dari halaman seperti daun pepaya, daun singkong, daun singkong jepang hingga daun kelor. Dedaunan tersebut nantinya akan dicacah sebagai bahan tambahan makanan untuk ayam peliharaan.

Berdasarkan pengalaman pribadi, kondisi ayam yang sehat akan lebih cepat untuk bertelur kembali. Apalagi jika ayamnya diumbar di pekarangan. Tidak heran banyak orang di lingkungan pedesaan memilih memelihara ayam sebagai salah satu upaya dalam mengurangi sampah makanan dalam di rumah. Lain halnya kalau sedang mengolah tanaman yang berakar seperti kangkung, daun bawang ataupun mint. Sisa batang yang ada biasanya tidak saya buang, tetapi saya tanam ulang (regrow) di halaman.

Dokpri
Dokpri
Selain mengurangi anggaran belanja, kebiasaan regrow juga mempermudah saya untuk menikmati kualitas sayur yang lebih sehat karena dipupuk dengan bahan alami seperti air bilasan beras, kompos dari bipori hingga pupuk kandang dari kotoran ayam yang saya pelihara di samping rumah. Meski terkesan sepele, namun memiliki tanaman pangan di sekitar rumah terbilang sangat membantu dalam meminimalisir sampah organik yang berasal dari sisa makanan harian kita. Mudahnya semacam memiliki kulkas hidup tetapi sisa bahan makanan yang kita petik dari halaman rumah kondisinya akan tetap segar. Mana tidak memerlukan daya listrik seperti kalau kita menyimpan bahan makanan di dalam kulkas pula.

Di sisi lain saya juga berusaha mewujudkan lingkungan sustainable yang lebih layak huni dengan meminimalisir jejak karbon harian. Istilah untuk menyebut proses pelepasan karbon ke lapisan atmosfer bumi. Lonjakan jejak karbon inilah yang ditengarai menjadi salah satu penyumbang terjadinya perubahan iklim karena dapat memicu naiknya suhu bumi, yang dikenal luas dengan sebutan efek rumah kaca. Lantas, apa saja yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir laju perubahan iklim yang kian hari dampaknya kian menjadi-jadi ini? Berikut beberapa hal yang sudah saya lakukan jauh-jauh hari:

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Karena bahu-membahu menjaga keberlanjutan bumi tidak bisa dilakukan sendiri. Mari berjuang bersama demi lingkungan yang lebih layak huni.

Salam hangat dari Jogja,

-Retno-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun