Potret sampah di atas misalnya. Pemandangan yang saya ambil pada Rabu, 17 Januari ini tentu menyiratkan banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang wajib dirembug bersama. Salah satunya adalah sinergi dalam menjaga muara limbah domestik kita. Selain dikenal sebagai kota pelajar, sematan kota wisata tentu menambah panjang daftar PR untuk Jogja. Pasalnya sepanjang tahun 2022 saja, Dinas Pariwisata Yogyakarta mencatat kunjungan wisatawan sebesar 7,4 juta orang.
Kalau kita memakai data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020 yang menyatakan total sampah nasional mencapai 67,8 juta ton. Artinya dalam sehari, 270 juta penduduk Indonesia menghasilkan sampah sebesar 185.753 ton atau 0,68 kilogram per individu.
Hitungan kasarnya, sumbangan sampah dari sektor pariwisata di Jogja tahun 2022 saja mencapai 5,032 juta kilogram. Ini belum ditambah dengan sampah dari warga lokal Jogja. Tidak heran jika sampah menjadi isu lingkungan Jogja yang hangat diperbincangkan lintas musim.
Lantas, “Kemana saja akhirnya sampah domestik kita bermuara?”. Kalau pertanyaan tersebut ditujukan pada saya, maka saya akan menjawabnya dengan menceritakan gaya hidup minimalis yang saya jalani sejak pandemi. Dalam rangka meminimalisir sampah organik dari rumah, saya mulai menerapkan pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Penurunan penghasilan yang signifikan selama pandemi membuat saya lebih ketat dalam berbelanja. Prinsip belanja seperlunya lalu konsumsi sebaik-baiknya ini kini malah menjadi life style yang saya jalani sekaligus saya syukuri.
Beberapa tahun terakhir saya kembali dekat dengan kebiasaan bercocok tanam yang sudah lama saya tinggalkan. Halaman yang luasnya tidak seberapa itu akhirnya menjadi habitat yang baik bagi puluhan tanaman pangan yang terbilang tidak “memakan” lahan. Dari deretan bumbu ada daun salam, serai, cabai, empon-empon hingga merica. Dari label sayur-mayur ada daun bawang, kucai, pare, adas, bayam brazil, tanaman ginseng jawa, katuk, kelor,daun pepaya hingga daun singkong. Tinggal dirolling saja sesuai kebutuhan.
Selain itu ada pula tanaman lemon, jambu merah, srikaya hingga buah-buah lucu yang jarang saya temui seperti delima, murbei, cokelat hingga dewandaru. Lumayan banget punya kulkas hidup yang dapat dipanen sewaktu-waktu. Kalaupun ada sisa makanan di rumah, biasanya saya “daur ulang” pada hari berikutnya. Kalau sisanya berupa nasi, saya kerap menyulapnya menjadi lontong, nasi goreng, bubur atau sego godhog. Saya agak bergidik mendapati data bahwa di tahun 2020 silam Indonesia menduduki peringkat 4 food waste terbanyak di dunia dengan jumlah sampah makanan dari sektor rumah tangga mencapai 20,94 juta metrik ton.
Fakta di atas tentu patut menjadi pertimbangan kita untuk kian bijak dalam mengelola sumber pangan yang ada, bukan? Pasalnya, selain dapat menimbulkan polusi udara, sampah makanan yang membusuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berpotensi melepaskan metana dalam jumlah yang besar. Selain dapat merusak lapisan ozon, gas metana merupakan salah satu emisi gas rumah kaca dengan dampak yang sangat merusak. Tentu kita tidak mau mengulangi tragedi ledakan di TPA Leuwigajah yang merenggut hingga 157 korban jiwa itu, bukan?