Mohon tunggu...
Retno Septyorini
Retno Septyorini Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan, sering jalan ^^

Content Creator // Spesialis Media IKKON BEKRAF 2017 // Bisa dijumpai di @retnoseptyorini dan www.retnoseptyorini.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meneropong Masa Depan Kedaulatan Pangan Indonesia Lewat ST2023

16 Juni 2023   22:42 Diperbarui: 16 Juni 2023   22:43 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juni tahun lalu, kita pernah merasakan harga cabai rawit yang hampir setara dengan harga daging sapi. Waktu itu sambal yang kerap menjadi pelengkap makan segala kalangan itu mendadak menjelma menjadi santapan yang begitu mewah bagi golongan kaum bawah. Dilansir dari Tirto.id, data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) menunjukkan adanya lonjakan harga cabai rawit yang mencapai Rp100.000 hingga Rp130.000/kg. Harga tersebut bahkan mendekati harga daging sapi yang kala itu ada pada kisaran Rp130.000 hingga Rp140.000/kg. 

Bisa dibayangkan bukan keresahan banyak pihak, termasuk pelaku usaha kecil yang mengandalkan komoditi cabai seperti penjual ayam geprek, pedagang pecel lele, produsen singkong balado hingga produsen aneka olahan sambal? Mirisnya, setahun kemudian, tepatnya di awal Mei tahun ini kita digegerkan dengan viralnya video cabai yang dibuang di parit. Hal ini dilatarbelakangi anjloknya harga jual cabai di ranah petani. Padahal, kita sama-sama tahu kalau orang Indonesia itu doyan makan pedas. Data dari Badan Pusat Satatistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi cabai rawit di Indonesia itu sebagian besar berasal dari sektor rumah tangga. Tahun 2020 saja jumlahnya mencapai 479,03 ton. Jumlah yang setara dengan 76,1% dari total konsumsi cabai rawit nasional.

Padahal, jika diolah lebih lanjut, cabai tidak hanya bisa diolah menjadi sambal semata. Tetapi masa konsumsinya bisa diperpanjang dengan beragam cara yang terbilang mudah, seperti diawetkan dengan metode lacto-fermentasi, dimasak menjadi saos atau dikeringkan hingga menjadi cabai bubuk. Khusus metode yang terakhir sempat saya coba beberapa kali. Hasilnya terbilang lumayan. Walau tidak disangrai usai dikeringkan dan diblender sampai halus, cabai bubuk buatan saya bisa tahan hingga tiga bulan lamanya.

Sayangnya, viralnya video pembuangan komoditi hasil pertanian tidak terjadi sekali, dua kali saja. Kadang viral video cabai yang dibuang-buang. Ada kalanya hasil panen lainnya, seperti tomat yang dibuang begitu saja. Bahkan saya pernah melihat video telur yang sengaja dibanting-banting begitu saja lantaran anjloknya harga di masa panen berlangsung. Berbagai fakta di lapangan semacam inilah yang kini tengah gencar dicari solusinya oleh pemerintah. Dimana salah satunya dilakukan melalui program Sensus Pertanian 2023 (ST2023). 

Sensus Pertanian merupakan sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 tahun sekali. Sesuai Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 tentang statistik, setiap tahun berakhiran tiga, Badan Pusat Statistik (BPS) akan melaksanakan Sensus Pertanian. Sensus ini bertujuan untuk menyediakan data struktur pertanian terutama untuk unit-unit administrasi terkecil (1), menyediakan data yang dapat digunakan sebagai tolak ukur statistik pertanian terkini (2) serta menyediakan kerangka sampel untuk survei pertanian lanjutan (3).

Meski namanya Sensus Pertanian, namun cakupan dalam ST2023 tidak hanya berkutat pada tanaman pangan dan holtikultura saja. Sensus ini juga mencakup bidang perkebunan, peternakan, pertanian, kehutanan hingga jasa pertanian. Berbagai data krusial yang ditemukan dalam ST2023 seperti data pokok pertanian nasional, data terkait petani gurem, indikator SDGS pertanian, data petani skala kecil hingga data geospasial statistik pertanian tentu sangat diperlukan untuk menjawab isu strategis terkini di sektor pertanian, meliputi potensi terkait petani milenial dan modernisasi adopsi teknologi pertanian.

Maklum, seiring perkembangan teknologi, kini sosok petani tidak hanya identik dengan pekerjaan orang yang berumur saja. Namun banyak pula sosok petani muda yang sukses mendulang rupiah. Bahkan beberapa profesi di ranah pertanian sempat menjadi pilihan pekerjaan kawula muda saat pandemi resmi datang di Indonesia. Ada yang sukses merintis usaha tanaman hias, ada yang mulai menjalani bisnis ikan hias hingga ada yang sengaja menyulap halaman atau rooftop rumah menjadi lahan bertani sayur melalui metode hidroponik.

Terkait dengan manfaat Sensus Pertanian 2023 dalam menanggapi isu strategis di sektor pertanian yang ke-2, yakni modernisasi adopsi teknologi pertanian, tidak menutup kemungkinan data ST2023 ini nantinya akan menjadi tolak ukur kebijakan pemerintah yang mampu menjawab berbagai keresahan petani di pelosok negeri. 

Bisa jadi data ST2023 menjadi acuan kebijakan pemerintah terkait penyediaan dan bantuan pupuk guna mencegah kelangkaan pupuk di pasaran. Bisa jadi data sensus pertanian tahun ini menjadi acuan rekomendasi sistem pengairan dari tenaga ahli pertanian yang disesuaikan dengan kondisi lahan pertanian masyarakat di daerah. Atau bisa data Sensus Pertanian 2023 menjadi rekomendasi kebijakan terkait bantuan keahlian pengolahan paska panen hingga rumah produksi percontohan paska panen yang dapat menampung komoditi hasil pertanian petani di daerah yang harganya diprediksi dapat anjlok di waktu-waktu tertentu. Persis seperti yang sempat saya singgung di awal cerita di atas.

Mengutip pidato Presiden Joko Widodo saat Pencanangan Pelaksanaan ST2023 pada 15 Mei 2023 lalu, bahwasanya Sensus Pertanian 2023 ini penting dilakukan karena sektor ini melibatkan hajat hidup orang banyak sehingga butuh akurasi kebijakan. Dan akurasi kebijakan ini membutuhkan akurasi data sensus. Untuk itu, mari kita dukung Sensus Pertanian yang dilakukan mulai 1 Juni hingga 31 Juli 2023 nanti.

Tentu saja partisipasi dari dari kita semua, utamanya yang berprofesi sebagai pelaku usaha pertanian, baik perorangan, kelompok maupun perusahaan berbadan hukum menjadi sangat diperlukan. Karena itulah, jangan lupa untuk mengingatkan kenalan, kawan, kerabat maupun keluarga yang berprofesi di tujuh bidang yang masuk dalam pendataan sensus pertanian tahun ini. Karena Sensus Pertanian 2023 tidak hanya mencatat pertanian Indonesia, tetapi juga menjadi ajang untuk meneropong masa depan kedaulatan pangan serta kesejahteraan petani Indonesia.

Semoga ke depannya tak ada lagi hasil komoditi pertanian kita yang terbuang sia-sia karena kurangnya pengetahuan pengolahan pangan paska panen dari petani Indonesia.

Salam hangat dari Jogja,

-Retno-

Sumber Referensi:

1. Anggun P. S., 2022. Update Harga Pangan: Harga Cabai Hampir Setara Daging Sapi, diakses dari https://tirto.id/update-harga-pangan-harga-cabai-hampir-setara-daging-sapi-gton

2. Vika, A.D. 2021. Produksi Cabai Rawit di Indonesia Capai 1,51 Juta Ton pada 2020, diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/22/produksi-cabai-rawit-di-indonesia-capai-151-juta-ton-pada-2020

3. Data dari Instagram Badan Pusat Statistik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun