Kebaikan membuat bulan-bulan berat terasa ringan. Tidak heran jika gerak lincah kebajikan seolah enggan berhenti meski dicekam situasi pandemi. Alasannya sederhana saja. "Mengembangkan payung di tengah badai" terasa lebih ringan jika dilakukan beramai-ramai.
Jadi jangan heran dibalik "gelapnya" suasana pandemi tahun ini, masih banyak penderma yang bersuka cita "menyalakan lentera" untuk "menerangi" dunia. Demi kebaikan bersama, perihal bantu-membantu kini turut mewarnai kegiatan adaptasi kebiasaan baru yang banyak dilakukan tanpa rasa ragu.
Ada yang memulainya dengan menghentikan kebiasaan liburan ataupun berkumpul di tengah keramaian. Ada yang tergerak untuk menjaga sesama dengan berbagi sembako di berbagai posko.
Di sisi lain ada pula yang berinisiatif menggalang dana agar dapat memberi alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan di pelosok nusantara. Ada juga yang menunjukkan kepedulian dengan menyantuni mereka yang tengah membutuhkan.
Semua ini dilakukan atas dasar kemanusiaan. Agar di kemudian hari dapat mengenang kebersamaan saat berjuang melawan pandemi. Bagi saya pribadi, pandemi mengubah banyak hal. Tidak terkecuali pada tingkat kebersyukuran perihal rejeki yang saya dapati.
Tengadah doa seorang ibu pengepul sampah usai menerima beberapa lembar rupiah kala itu sontak menarik air mata, simpul bahagia sekaligus rasa syukur saya pada Sang Pencipta. Haru karena merasa diingatkan agar tidak lupa untuk "melihat ke bawah". Bahagia karena bisa berbagi dengan sesama penghuni bumi. Dan bersyukur karena diberi kesempatan melihat senyum bahagia dari mereka berdua.
Entah mengapa semburat senyum si kecil di sudut gerobak itu terasa bak pelita di tengah gulita. Lagi-lagi, saya diingatkan bahwa rasa bahagia bisa datang kapan saja, dimana saja. Saat berbagi, saat tersenyum atau bahkan saat berucap syukur atas nikmat sehat yang masih erat melekat.Â
***
Desember ini tepat sebelas bulan adik tidak mudik ke Jogja. Jadilah semua komunikasi dengan orang rumah dilakukan via layar gawai. Seperti ribuan anak rantau lainnya, laki-laki berkacamata itu berusaha tampil ceria tiap kali bertatap virtual dengan ibu bapaknya. Ia tetap tersenyum meski kedua matanya perlahan memerah karena rindu yang melanda dari berbagai arah.
Apa mau dikata, pandemi membuat jadwal mudik harus ditunda sampai batas waktu yang ia sendiri tidak tahu. Padahal biasanya setiap dua bulan sekali selalu ada waktu untuk bercengkrama sembari menikmati masakan ibunda tercinta. Saya ingat betul, tanpa perlu diaba, ia kerap membagi cerita yang menghangatkan jiwa.