"Tak pernah berubah. Tetap senikmat ingatan waktu itu", begitu kira-kira salah satu pujian yang pernah ia sematkan usai melahap seporsi nasi hangat berlauk sayur buntil, telur puyuh dan teri crispy.
Tidak disangka, Pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Termasuk perihal jadwal tatap muka anak rantau dengan keluarga tercinta. Jangankan mudik bulanan. Tradisi sungkeman saat lebaran saja kini sengaja dilakukan secara virtual.
Semua dilakukan demi keamanan bersama. Agar usai pandemi dapat berjumpa tanpa jejak resiko yang membahayakan kesehatan. Sayangnya, berbulan-bulan kemudian kondisinya tak jauh beda. Pandemi belum dapat diatasi sehingga jadwal mudik belum dapat direalisasi. Hingga suatu siang saya mendengar obrolan yang menggurat sembilu...
"Cuma ibu takut resikonya. Di rumah ada tiga lansia dengan penyakit penyerta. Kalau soal kangen, jelas ibu sudah kangen banget", jawab ibu usai ditanya perihal keinginan mudik adik.
Saya sontak terdiam. Saya tahu betul bagaimana rindunya ibu dan bapak pada anak laki-lakinya satu-satunya itu. Tapi apa mau dikata. Semua demi kebaikan bersama.
Mendengar obrolan ini saya langsung memeluk ibu. Saya mencoba menguatkan beliau dengan usap-usap bahunya yang kini mulai "dimakan usia".
"Kalau kangen masakan rumah, nanti ibu kirimi kering tempe sama mie lethek kesukaanmu itu, ya?", ujar ibu mengalihkan pembicaraan.
"Ya, bu", jawab adik sembari tersenyum meski berulang kali terlihat menyeka air mata.
***
Bisa jadi ada sebagian dari kawan-kawan yang masih asing dengan istilah mie lethek. Pasalnya mie berbahan singkong yang satu ini merupakan salah satu mie tradisional khas Kabupaten Bantul. Salah satu kabupaten yang letaknya di sisi selatan Kota Jogja.