Saya terlahir di tengah keluarga yang terbilang heterogen. Semua garis keturunan kakek, termasuk keluarga saya itu muslim, sedangkan keluarga besar dua saudara kakek lainnya semuanya nasrani. Menariknya, perbedaan tersebut tidak menjadi jurang pemisah diantara kami.
Kalau Idul Fitri tiba, rombongan saudara kakek beserta keluarga datang untuk bersilaturahmi ke rumah. Sebaliknya, saat saudara nasrani kami mengikuti misa Natal, berkali-kali saya tugas jaga di rumah kakek. Kalau nanti ada tamu minimal ada yang membukakan pintu.
Sebuah potret sederhana tapi terasa cukup mahal di era hujan ujaran kebencian seperti yang beberapa waktu ke belakang kerap terjadi baik di dunia nyata maupun maya. Sungguh disayangkan. Padahal di luar sana mungkin ada keluarga lain yang memiliki takdir serupa dengan potret heterogen keluarga besar saya. Ada yang berbeda keyakinan, meski berasal dari satu garis keturunan.
Menanam Toleransi Sejak Usia Dini
Memiliki latar belakang keluarga yang demikian, saya tidak lagi kaget ketika menemukan perbedaan keyakinan, bahkan sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Dulu, saat masih SD saya memiliki sahabat dekat bernama Niluh. Suatu hari ia bercerita tentang keseruan perayaan Galungan dari sudut pandang anak sekolah dasar, termasuk serunya prosesi persiapan yang dilakukan di sana. Meski belum pernah melihat secara langsung prosesi Galungan, hingga saat ini cerita Galungan dari Niluh menjadi hal pertama yang diingat kepala saat mendengar nama Pulau Dewata. Â
See? Disadari atau tidak, sebagian kenangan di masa kecil bisa diingat hingga puluhan tahun kemudian. Bahkan beberapa diantaranya mungkin akan menjadi memori abadi yang terkenang hingga tua nanti. Sama seperti nenek yang masih mengingat kesedihannya usai ditinggal kedua orang tuanya.
Memiliki perawakan tinggi, mata sipit dan kulit putih rupa-rupanya mengundang pertanyaan teman sebayanya kala itu, yang sayangnya berakhir dengan perundungan alias di-bully. Dirundung karena berbeda. Padahal seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia itu kaya karena perbedaan. Kabar buruknya, hingga saat ini kenangan tidak baik tersebut masih diingat nenek. Sesekali cerita sedih itu diulang di depan saya.Â
Bisa dibayangkan bukan kalau perundungan hingga ujaran kebencian diterima anak kecil hanya karena perbedaan warna kulit, bentuk mata atau perawakan semata? Selain merusak tali persaudaraan antar ras, bahkan antar umat beragama, bukan tidak mungkin ujaran kebencian yang dilontarkan berpotensi menimbulkan sikap intoleran di kemudian hari.Â
Bukan rahasia lagi kan, kalau tindakan brutal seperti peledakan bom di Indonesia yang terjadi beberapa waktu yang lalu berawal dari pencekokan ideologi yang salah? Bisa jadi satu diantaranya dikarenakan ujaran kebencian yang ditanam entah berapa puluh tahun sebelumnya.
Untuk menyebarkan  ujaran toleransi ini, Kementerian Agama dapat bersinergi dengan berbagai kementerian lain seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Semakin banyak mitra yang diajak berkolaborasi, diharapkan semakin cepat pula berbagai masalah yang disebabkan karena intoleransi ini dapat diatasi.
Dalam hal ini sinergi dapat dilakukan dengan penyebaran konten baik,  sosialisasi materi toleransi hingga kerja sama dalam memberangus hoax. Disadari atau tidak, penyebaran hoax di media sosial kerap menjadi pemantik pengggiringan opini yang menyudutkan pihak tertentu yang berpotensi menimbulkan "gesekan"baik  antar umat beragama maupun antar golongan tertentu.
***
Jika ada yang bertanya mengapa menggandeng sekolah terlebih dahulu, tidak lain dan tidak bukan karena sekolah adalah ruang belajar bersama para generasi muda Indonesia. Dengan menggandeng pihak sekolah diharapkan dapat meminimalisir penolakan yang mungkin terjadi pada sebagian keluarga yang saklek dengan pemahaman toleransi yang dianutnya. Kalau program ini berhasil, bukankah kita akan memiliki ratusan ribu duta toleransi yang tersebar di berbagai penjuru negeri?Â
Lantas bagaimana konsep kelas toleransi ini? Konsepnya cukup sederhana. Pertama melalui sosialisasi kekinian yang disesuaikan dengan perkembangan jaman, dimana salah satunya dapat dibalut dengan konsep wisata religi. Konsep ini tidak melulu harus dilakukan dengan cara berwisata ke tempat peribadatan lho, namun dapat dilakukan dengan alat peraga seperti gambar, animasi, film, lagu hingga cerita dari sahabat seberang yang dibuat sesuai dengan tingkatan pendidikan yang ada di Indonesia.Â
Sedangkan kampanye ujaran toleransi untuk masyarakat luas dapat dilakukan dengan acara sharing antar komunitas, kemah toleransi hingga acara kekinian lainnya yang melibatkan berbagai pihak yang mampu menarik sekaligus menyampaikan materi dengan baik, seperti publik figur hingga influencer. Kombinasi yang demikian diharapkan mampu menarik minat masyarakat untuk turut mengkampanyekan berbagai program baik dari pemerintah, termasuk kampanye toleransi, cara bijak bersosial media hingga memberangus hoax yang disebarluaskan sekitar kita.
Untuk memperbanyak ujaran kebaikan di media sosial, sekali-kali boleh lah bikin lomba blog, vlog, infografis hingga lomba membuat film pendek bertema toleransi. Hal-hal sederhana semacam ini diharapkan dapat menjadi pemantik sekaligus penyambung lidah lintas arah antara pemerintah dengan masyarakat luas.Â
Pastikan Konten Berbagai Program Kemenag Tidak Ketinggalan Jaman!Â
Untuk meminimalisir gagalnya proses delivery informasi pada masyarakat, Kementerian Agama wajib menggandeng content creator lintas bidang seperti penulis, fotografer, videografer hingga para desainer komunikasi visual. Dengan demikian materi sosialisasi yang disampaikan tidak melulu disajikan melalui foto yang disertai dengan caption saja, namun dapat disajikan dalam bentuk infografik, komik, video hingga film pendek. Di saat teknologi sudah berkembang begitu pesat, mau tak mau pemerintah harus mengimbanginya dengan cepat, juga tepat,bukan?Â
Tentu Kementerian Agama tidak perlu bingung untuk membuat kerjasama  dengan para content creator berbakat. Saat ini banyak kok generasi muda Indonesia yang bertalenta sekaligus begitu terbuka untuk diajak kerjasama membangun bangsa, tidak terkecuali sebagai perantara dalam mensosialisasikan berbagai program pemerintah, termasuk membuat hingga menyebarluaskan konten baik, baik secara offline maupun online.
Jika sosialisasi berbagai program Kementerian Agama dapat mengikuti selera pasar, tepat sasaran bukan lagi menjadi angan. Apalagi kini berbagai kanal media sosial dapat dimanfaatkan untuk mendukung berbagai program yang digalakkan pemerintah.Â
Lantas, bagaimana dengan hoax dan ujaran kebencian yang masih merajalela di berbagai media? Untuk soal ini, pemerintah juga wajib menegakkan hukuman bagi siapa saja yang secara sengaja membuat hingga menyebarkannya, baik secara offline maupun online.Â
Berantas Hoax Hingga ke Akar-Akarnya
Apapun alasannya, pembiaran penyebaran hoax, juga ujaran kebencian tentu bikin tuman (baca: ketagihan). Kalau sudah begini, produsen dua konten buruk (hoax dan ujaran kebencian) tidak akan mengenal kata jera. Yang ada malah sebaliknya. Terus memecah belah persatuan bangsa, demi kesenangan hingga keuntungan pribadi semata.Â
Untuk memberantas penjahat konten macam ini, tentu payung hukum wajib ditegakkan. Harapannya sih, meski tanpa aduan, jika pihak berwenang menemukan titik terang keberadaan si penjahat konten atau bukti penyebarluasan konten jahat melalui kanal digital, tolong segera diproses dong Pak Menteri. Kadang kalau pelakunya teman sendiri yang susah dibilangi itu bikin sebel setengah mati.Â
Salam hangat dari Jogja,Â
-Retno-Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H