Beberapa tahun belakangan, puluhan keluarga di dusun kami menggalakkan aksi tanam bahan pangan di lahan yang tersedia di sekitar rumah. Mengingat selera yang berbeda-beda antar keluarga, tak ada aturan baku harus menanam apa. Silahkan menanam sayur, buah, umbi atau empon-empon yang sering dibutuhkan.
Yang punya halaman belum diblok semen langsung menanam beralaskan tanah, yang punya lahan selebar satu hingga dua meter tapi sudah diblok semen mengakalinya dengan menanam tanaman merambat atau tanaman pangan yang dapat ditumbuhkan di dalam pot ataupun polybag.
Jangan heran juga jika sumber karbohidrat kami tidak selalu terbuat dari nasi karena ada kalanya kami memilih menikmati hari bersama olahan dari umbi-umbian.
Uniknya, lokasi penanamannya tak melulu di halaman rumah. Satu yang paling mencolok, terlihat pada gambar di atas. Memanfaatkan pinggiran lantai atas dengan puluhan polybag yang berisi tanaman daun bawang. Semua ini dilakukan tidak semata-mata untuk membantu mengendalikan harga bahan pokok saat hari besar tiba. Lebih dari itu, tersemat harapan agar kita kembali berjaya di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini.
Mendukung Berdayanya Tetangga
Selain menanam bahan pangan lokal, sebagian besar keluarga di dusun kami berprofesi sebagai petani. Bahkan simbah dan pakde saya pun masih mendapatkan pemasukan dari hasil bercocok tanam di sawah. Seingat saya, jarang rasanya ada berita kekurangan pasokan beras di sekitar tempat tinggal kami.
Selain banyak yang berprofesi sebagai petani, selain dijual secara mandiri dengan menawarkan hasil panen ke tetangga, banyak pula beras hasil panen yang diterima di beberapa kios sembako yang dimiliki tetangga ataupun tetangga desa.
Selama ini keluarga kami pun menikmati beras dari hasil panen tetangga. Kadang dapat beras putih, kadang dapat beras merah, pernah juga kami mendapatkan beras hitam hasil panen warga. Seneng lho bisa menikmati hasil bumi tetangga sendiri. Pertama karena dapat stok bahan pangan yang baru. Istilahnya fresh from the oven.
Hal ini dapat diketahui umumnya tetangga menawarkan hasil panen usai proses penggilingan padi berakhir. Selain mengurangi rantai dan waktu distribusi, beli panenan tetangga itu dapat mengurangi resiko hasil panen yang dibeli di bawah harga normal. Jadi kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual sama-sama enak.
Mungkin karena jarang yang menimbun inilah yang jarang sekali terjadi kekurangan stok bahan pangan di sekitar tempat tinggal kami, bahkan saat libur hari besar keagamaan sekalipun.
Menariknya, banyak pula tetangga di sekitar saya yang masih memelihara ternak seperti dari sapi, kambing dan ayam kampung. Sapi-sapi milik tetangga ditempatkan di kandang bersama yang cukup jauh dari pemukiman warga sehingga tidak mengganggu sirkulasi udara.
Untuk menjaga keamanan ternak di kandang bersama diterapkan wajib jaga. Sedangkan untuk ayam kampung biasanya diumbar begitu saja. Karena itulah naiknya harga bahan pangan yang kerap terjadi di hari raya tidak begitu dikeluhkan warga.
Di kala banyak yang menimbun beras, mereka sudah memperhitungkan keamanan stok beras di rumah masing-masing. Di kala banyak yang antri beli ayam untuk dimasak opor, mereka tinggal menyembelih sendiri, tidak terkecuali dengan keluarga kami. Menariknya tinggal di desa itu pakan ayam bukan menjadi hal serius.
Soalnya sewaktu membeli beras, sekalian bisa langsung membeli biji padi yang di usai proses penggilingan akan berubah menjadi katul. Nantinya katul ini akan dicampur dengan dedaunan ataupun sisa makanan. Kalau di rumah kami, ayam-ayam di pekarangan akan diberi makan campuran katul, potongan daun papaya dan buah jambu yang berjatuhan di halaman. Kebetulan di halaman rumah ada pohon jambu yang berbuah lebat.
Inovasi dari Desa
Terhitung sejak tahun ini, ada beberapa perkumpulan yang mulai membuat produk dari hasil tanaman yang dibeli dari warga, salah satunya adalah pepaya. Pepaya-pepaya nyadam yang diperoleh dari hasil panen warga nantinya diolah menjadi beberapa produk seperti carikates (semacam carica papaya), permen dan geplak pepaya.
Geplak sendiri merupakan makanan khas dari Bantul yang dibuat dari campuran parutan kelapa yang diberi gula putih. Karena inovasi dari dusun kami dibuat dengan pepaya, maka namanya pun berubah menjadi geplak pepaya. Meski masih dalam skala kecil, namun inovasi-inovasi semacam ini tentu menjadi kabar yang cukup menggembirakan.
Apalagi makanan dan minuman manis cukup identik dengan kuliner yang disajikan saat libur panjang, termasuk hari raya lebaran yang akan berlangsung beberapa bulan ke depan. Bagaimanapun juga, selain memberdayakan sekaligus dapat meningkatkan potensi ekonomi kreatif lokal, mengolah dan mengkonsumsi produk lokal tentu akan memotong panjangnya rantai distribusi bahan pangan.
Inovasi dan kolaborasi semacam ini diharapkan dapat mengatasi polemik kelangkaan bahan pangan, juga melambungnya harga makanan di hari besar keagamaan, utamanya saat lebaran tiba. Semoga hal-hal yang dipandang sepele semacam ini dapat merembet dalam cakupan yang lebih luas.
Salam hangat dari Jogja,
-Retno Septyorini-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H