Ada yang mengenal bulatan uang logam berwarna kecoklatan dengan tiga bahasa di kedua sisinya tersebut? Iya betul, namanya benggol. Meski tertambat angka 1945 di salah satu sisinya, namun pecahan uang dua setengah sen ini merupakan salah satu uang logam kuno yang cukup melegenda di Indonesia. Pasalnya uang kuno ini merupakan saksi bisu salah satu tradisi orang Indonesia dalam mengusir "masuk angin", yang dikenal luas dengan sebutan kerokan ataupun kerikan.
Masuk angin sendiri merupakan istilah yang familiar untuk menyebut kondisi meriang yang disebabkan karena kedinginan akibat kehujanan ataupun pengaruh udara malam, terpapar angin saat melakukan perjalanan panjang hingga perubahan cuaca yang tidak menentu. Kalau masuk angin melanda, kerokan menjadi salah satu solusi andalannya.
"Eh bentar-bentar, kerokan itu apa sih Ret?".
"Jadi kerokan itu merupakan pengobatan tradisional dalam mengusir masuk angin. Pengobatan yang dilakukan secara turun-temurun di sekitar Pulau Jawa ini dilakukan dengan cara menekan sekaligus menggeserkan benda tumpul secara berulang di atas permukaan kulit. Kalau sedang masuk angin, beberapa gesekan benggol saja sudah menghasilkan bilur merah pada kulit. Kalau sudah begini, habis kerokan badan beneran jadi enakan".
Ngomong-ngomong tentang kerokan, saya jadi ingat kisah seorang kawan, sebut saja dia Indah (bukan nama sebenarnya). Jadi beberapa tahun lalu Indah dapat tugas untuk melakukan survei di salah satu kawasan di bagian timur Indonesia. Suatu sore, ada teman Indah yang tiba-tiba datang bawa sendok makan lalu duduk diantara kerumuman kawan yang tengah bersantai di ruang tamu.
"Ndah, tolong kerokin dong", pintanya dengan raut muka sedikit memelas.
"Kirain aku mau diajak makan Ret, eh ternyata dia minta kerokan", kelakarnya di suatu siang.
Mendengar cerita ini sontak saya pun ikut terbahak.
"Mosok pakai sendok sih?", tanya saya dengan ekspresi kurang percaya mendengar cerita Indah barusan.
"Iya, sendok logam yang agak tebel itu lho Ret!", jawabnya penuh antusias.
"Nggak percaya? Nih aku liatin fotonya", celetuk Indah sesaat kemudian.
Sontak tawa kami pun pecah sekali lagi. Dia tertawa tentu karena mengingat moment lucu sore itu, sedangkan saya masih geli membayangkan alih fungsi sendok makan yang tetiba jadi alat bantu kerokan.Â
---
Meski sudah menjadi tradisi dalam mengusir meriang dan mungkin banyak pula yang menggunakan sendok makan sebagai alat bantu kerokan, namun hingga saat ini kerokan masih menjadi kontroversi. Salah satu hal yang banyak dibicarakan adalah dampak kerokan bagi kesehatan, utamanya dampak terjadinya bilur merah yang timbul di permukaan kulit. Sebagai penikmat kerokan, saya sendiri kerap mendapat berbagai pertanyaan dari teman yang penasaran akan tradisi kerokan.
"Kalau dikerok-kerok gitu apa nggak sakit Ret?".
"Dear kengkawan semua, kerokan itu dilakuinnya nggak sembarangan. Kalau saya sendiri mengharuskan cuci tangan pada orang yang mau ngerokin. Begitu pula dengan benggol yang akan digunakan untuk kerikan. Sebelum digunakan benggol harus dicuci bersih menggunakan sabun".
"Selain itu ada semacam teknik khusus yang perlu diketahui agar terhindar dari sakit usai kerokan. Bener sih akan ada sembilur merah di permukaan kulit usai dikerokin. Tapi jika dilakukan dengan teknik yang benar, kerokan tidak menimbulkan rasa sakit, bahkan lecet pun tidak. Sebaliknya, usai kerokan, badan yang tadinya terasa berat, pun perut yang tadinya kembung karena masuk angin akan berangsur enak dan pulih seperti sedia kala".
"Jadi, rahasianya kerokan apa aja nih?"
"Hal pertama yang penting dilakukan adalah memilih benda tumpul yang akan digunakan untuk kerokan. Kalau orang jaman dulu biasanya menggunakan benggol, si uang logam dua setengah sen yang saya ceritakan di awal perjumpaan tadi. Kalau nggak punya, banyak juga yang menggantinya dengan uang logam kekinian atau benda lain yang permukaannya tumpul, seperti batu giok ataupun sendok tebal logam seperti pengalaman kawan Indah tadi".
"Selanjutnya tinggal pilih pelumas yang baik untuk kerokan. Selain sebagai pelicin sekaligus sebagai media perantara agar kulit tidak lecet saat dikerokin, pelumas tersebut juga berfungsi sebagai penghangat tubuh. Menurut cerita ibu, pelumas kerokan jaman dulu itu pakainya minyak tanah. Jadi habis dikerokin baunya agak gimana gitu.
"Tentu ada banyak alasan mengapa balsem ini mampu bertahan menjadi andalan keluarga Indonesia hingga berpuluh tahun lamanya. Dengan harga yang sangat bersahabat, hanya Rp 4.400, saja, Balsem Lang seberat 10 gram bisa langsung dibawa pulang. Selain dapat mengusir masuk angin, kombinasi peppermint oil dan camphor dalam Balsem Lang juga dapat membantu meredakan pusing, pegal-pegal, keseleo, mabuk perjalanan hingga meredakan gatal-gatal akibat gigitan serangga. Aroma terapi dari Mentha arvensis alaminya juga terbukti melegakan pernapasan.
"Oh gitu ya. Ada lagi rahasia kerokan yang mau dishare, Ret?".
"Oiya, satu lagi, kerokan itu punya teknik tersendiri, utamanya yang berkaitan dengan teknik menggesek benggol. Jadi setelah kulit diolesi dengan Balsem Lang, miringkan koin sebelum ditekan dan digosok ke permukaan kulit tubuh yang akan dikerok. Perhatikan pula kuku si pengerok ya. Usahakan jangan sampai mengenai kulit orang yang akan dikeroki. Dengan cara demikian, niscaya orang yang dikeroki akan terhindar dari lecet-lecet. Jika orang yang dikeroki memang sedang masuk angin, beberapa kali gesekan benggol saja akan menimbulkan bilur merah pada kulit.
"Bercerita tentang kerokan mau tak mau membuat saya membuka kembali kenangan akan moment kerokan semasa kecil yang cukup susah untuk dilupakan. Jadi semasa TK sampai SD kelas kecil, kalau saya masuk angin, ibu selalu mithing (mengunci tangan saya) agar saya lebih mudah untuk dikeroki. Lucunya, yang meriang, dikerokin dan sembuh saya, tapi yang capek dan kena peraturan wajib bayar itu ibu, hehe".
"Pokoknya kalau ibu mau ngeroki genduk (panggilan ibu ke saya), nanti ibu wajib bayar genduk!", Â begitu kira-kira peraturannya.
"Geli sih kalau mengingat-ingat kembali momentlucu yang satu ini. Tapi demi anak, ibu saya sih mau-mau aja, hehe. Gokilnya lagi, yang pernah ngerokin saya itu nggak cuma ibu. Kadang kalau sedang masuk angin tapi sayanya lagi nggak mau dikeroki, dibawalah saya ke tukang kerok ternama di seberang desa sana. Nah, kalau yang ngeroki bukan ibu, bayaran ke sayanya lebih mahal".
"Mmm, kenapa gitu Ret bayarannya kok jadi lebih mahal?".
"Soalnya simbah-simbah yang ngeroki itu nggak pernah nurut kalau aku minta udahan aja ngerokinnya. Ditambah lagi simbah itu ngerokinnya rata banget dari ujung ke ujung. Meski masuk anginnya sembuh, tapi kan aku pakai drama nangis-nangis segala. Jadi wajar kan kalau bayaran ke akunya lebih mahal?".
"Auk ah Ret, sebel ih dengerin ceritanya". #teamibu
"Hehe", nyengir kuda.
"Terus sekarang masih sering kerokan juga?".
"Iya. Soalnya udah cocok ama tradisi pengusir angin yang satu ini. Sayangnya, sekarang habis dikeroki ibu gamau bayar aku", haha.
"Yeee! Udah bagus masih dikerokin! Mmm,Ret, omong -omong, kok kerokan bisa ngusir masuk angin sih?".
"Menurut penelitian Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Prof. Dr. dr. Didik Gunawan Tamtomo, kenaikan beta endorfin usai kerokan tersebut disebabkan karena aktivitas glandula pituitari dan pemecahan  pro hormon POMC (proopiomelanocortin) dari sel-sel keratinosit dan  sel endotel kapiler yang terjadi usai kerokan. Kenaikan beta endorfin usai kerokan inilah yang membuat tubuh menjadi lebih rileks".
"Jadi kalau cuma meriang, masuk angin, perut kembung ataupun pegal-pegal di tubuh, saya lebih memilih untuk kerokan saja. Bisa ngeman ginjal sekaligus menghemat pengeluaran. Sudah mudah dan murah, manjur pula. Kalau bisa hemat gini kan duitnya bisa ditabung buat jalan-jalan lagi".
"Ada gitu yang mau diceritain lagi Ret?".
"Sesungguhnya artikel ini dibuat sembari kerokan di dalam kamar, hehe. Bagi seorang content writer, tumpukan deadline pekerjaan yang sudah dijanjikan tak akan dibatalkan begitu saja karena alasan langit berawan, hujan atau hal-hal lain seperti macam perut kembung, pegal-pegal ataupun masuk angin. Eh, beneran lho, habis kerokan badan jadi lebih enakan!Â
Kerokan itu tidak seseram rumor yang beredar di luar sana kok. Kan kita bisa atur kapan mulai dan berhenti menggesek koin saat kerokan bukan? Asal kita bilang kalau sudah merasa cukupan, kerokan nggak akan bikin kesakitan kok."
Â
Salam sehat dari Jogja,
-Retno-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H