Satu jam lewat lima belas menit, aku membuka pembicaraan.
"Baiklah. Aku rasa kamu sudah sangat memikirkan ini dengan keras. Aku tidak akan mengubur mimpiku. Aku tetap memilih S2. Cincin ini darimu, jadi kukembalikan lagi padamu. Terima kasih untuk tiga tahun yang berkesan ini."
ah, Coffe Milo benar-benar mengingatkan aku padanya. Juga pada kenangan Oktober 2018. Ketika teman-teman di kampungku menyindirku dengan sangta garang.
"kamu egois", "anak kampung mau kuliah di luar negeri? itu kuliah atau jadi TKW?"
Aku tetap menyebut mereka teman, mereka juga ikut membakar semangatku untuk menanti nantikan gelar PhD yang sebentar lagi akan ku dapatkan. Beasiswa dari pemerintah benar-benar membuat aku bersyukur.
Maret, 2021.
Toga. Jubah hitam kebanggan. Papa dan Mama. Ijazah Postgraduated. Tiket Singapura - Jakarta - Padang. Juga tentang cincin yang di janjikan papa dan mama. Aku sedang bertanya-tanya tentang cincin yang dijanjikan papa dan mama. Namun enggan untuk bertanya apa-apa. Bandara BIM terasa sangat asing, papa dan mama mengangkat koper masing-masing dibantu dengan seorang petugas di bandara. Mataku tertuju pada seseorang diujung koridor. Sedang berjalan ke arahku. Tanpa bicara apapun, tangannya meraih gangang koperku. tanpa ragu membantu papa dan mama juga. Dia menuntun kami menuju sebuah mobil Avanza hitam. Aku serasa dalam perjalanan panjang ketika beriringan dengannya. Mama dan Papa tanpa bicara. Juga dia dan aku.
Rumah ramai. Aku Jetlag, namun masih dengan tanya yang mengambang. Ada apa?
Tangan seseorang itu meraih tanganku, dia izin pada papa dan mama untuk bicara denganku sebentar saja. Di atas mobil dia menatapku.
"Maaf untuk dua tahun yang lalu. Maaf untuk dua tahun ini. Aku sedang berjuang untuk seimbang denganmu. Masihkah kamu mau menerima cincin ini kembali? Dua tahun, aku sedang dalam tualang panjang. Dan selama itu aku hanya memikirkan mu. Aku bahagia setiap mendengar kabarmu dari papa dan mama mu. Aku selalu menunggu kabar dari mereka. Dua tahun yang lalu, aku sedang dalam pergumulan besar. Aku tidak dapat berpikir jernih. Papa sakit, dua bulan setelah itu papa meninggal. Aku hanya menjadikan alasan keadaan papa saat itu. Aku harap kamu mengerti”
Aku memeluknya. Dia berbisik “Terima kasih masih menyimpan senyum bulan sabit itu untukku”