Mohon tunggu...
Ayu Safitri
Ayu Safitri Mohon Tunggu... Konsultan - Trainer dan Konsultan Homeschooling

Penulis dan Trainer untuk http://pelatihanhomeschooling.com/ Ikuti saya di Instagram https://www.instagram.com/missayusafitri/ Ikuti saya di Facebook https://www.facebook.com/missayusafitri Tonton dan subscribe VLOG saya http://bit.ly/apaituhomeschooling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mau Dibawa ke Mana Arah Pendidikan Anak Kita?

22 Maret 2018   10:39 Diperbarui: 22 Maret 2018   12:45 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah tidak bisa dijadikan harapan di masa depan.

Apakah Anda setuju dengan ungkapan saya tersebut? Jika tidak, ijinkan saya memberikan sedikit penjelasan.

Semakin hari, praktik pendidikan di Indonesia makin memprihatinkan. Kompetensi anak-anak hanya diukur dan dinilai dari segi akademis. Kurikulum selalu diperbaiki dan sistem penentuan kelulusan juga terus dievaluasi.

Kalau dulu kelulusan hanya ditentukan oleh Ujian Nasional, sekarang tidak lagi. Untuk jenjang SMA misalnya, mereka harus menempuh paling tidak 2 kali ujian untuk mendapatkan pernyataan lulus atau tidak. 2 kali ujian tersebut antara lain; UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) dan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional).

Tidak hanya itu, mereka juga harus mengikuti Ujian Praktek yang diselenggarakan sekolah. Beban 'menghafalkan' mereka juga bertambah tatkala anak-anak SMA ini ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka harus bersiap mengikuti seleksi dari jalur pilihannya, seperti SNMPTN, SBMPTN atau melalui jalur PTN/PTS mandiri.

Sedangkan, untuk adik-adik kita yang masih di jenjang SD mereka harus mengikuti USBNdan US. Coba Anda perhatikan! Semua bentuk ujian itu hanya mengetes ranah kognitif seorang anak. Semua dinilai dengan cara seberapa banyak kamu tahu, mengerti dan hafal suatu materi.

Di sisi lain, masih ada banyak aspek dalam kehidupan manusia yang tidak digali. Karakter, moral, kepedulian dengan sesama, kemampuan melihat peluang, kemampuan berkomunikasi, potensi diri, hingga keterampilan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Semua hal penting itu seolah diabaikan.

*Dok. Pribadi
*Dok. Pribadi

Manusia Tak Hanya Butuh Teori

Seorang anak setelah lulus sekolah, mereka akan berhadapan dengan kehidupan yang sebenarnya. Dalam menjalani hidup inilah, mereka membutuhkan bekal yang cukup.

Bekal dalam berjuang memerdekakan hidup itu bukan hanya teori! Bukan hanya materi akademis yang kita perjuangkan mati-matian waktu sekolah dulu.

Menjadi rajin dan pintar di sekolah memang baik. Mengajak anak menambah wawasan dengan beragam teori memang tidak buruk. Tapi, mereka juga butuh tahu 'bagaimana cara menggunakan teori itu dalam keseharian'.

Bukankah hakikat ilmu itu untuk dimanfaatkan dalam keseharian, supaya hidup jadi lebih baik dan bermartabat? Hakikat ilmu bukan sekedar dihafal, kan?

Jika anak Anda saat ini masih sekolah, sebaiknya jelaskan pada mereka bahwa 'sekolah tidak bisa kamu jadikan harapan di masa depan'. Jadi, jangan sekolah saja. Kamu perlu cari sesuatu yang lebih dari sekolah.

Misalnya, mengajak anak mengikuti seminar atau pelatihan sesuai minat mereka. Ajak anak bergabung dengan komunitas sehobi, mengajarkan cara berorganisasi, mengikutsertakan dalam kegiatan sosial, mengedukasi mereka mengenai profesi Anda, menunjukkan bagaimana cara orang-orang berjuang menjemput rezeki, mengajak anak memperhatikan kondisi sekitar agar mereka cermat melihat peluang masa depan dsb.

Jangan hanya dituntut untuk membaca buku, mengerjakan PR dan dapat nilai bagus tiap kali ulangan. Karena jika hanya itu yang menjadi fokus Anda, mereka akan kaget dan tidak luwes menghadapi dunia setelah lulus sekolah.

Harapan pada Sekolah

Saat kita mengantarkan anak ke sekolah, kita pasti menaruh harapan yang besar. Bahwa melalui sekolah, hidup anakku harus lebih baik ketimbang orangtuanya. Sayangnya, praktik pendidikan saat ini dianggap belum mampu mewujudkan harapan tersebut.

Anak dari keluarga mampu akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dengan titelyang dianggap lebih baik, mereka berkesempatan melamar kerja di perusahaan besar, mencoba-coba jadi karyawan BUMN atau PNS.

Sedangkan, anak dari keluarga tidak mampu yang tidak kuliah harus rela menjadi pekerja kasar dan dibayar murah.

Sejatinya, apakah sekolah bisa dijadikan harapan? Padahal, anak-anak dari keluarga dengan finansial pas-pasan sudah menaruh impian besar pada sekolah.

Sejak sekolah dasar, anak seharusnya sudah diajarkan ilmu dan keterampilan hidup yang memadai serta dibantu melakukan identifikasi potensi. Agar mereka yang tak mampu melanjutkan pendidikan tinggi, bisa hidup dengan lebih baik melalui  bekal yang mereka dapatkan dari sekolah.

Sayangnya, yang terjadi justru sekolah hanya mengajarkan banyak teori yang tidak ada hubungannya dengan masa depan, cita-cita dan masalah yang sering dihadapi dalam keseharian.

Jika seperti ini, mau dibawa kemana arah pendidikan anak-anak kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun