Tarzan yang tidak pernah melihat benda-benda ini, dia kaget, bingung. Dia bersikap katrok! Dia pencet ini dan itu, tidak mampu mengoperasikannya malah merusak. Apa yang Anda lakukan? Anda menertawakannya! Anda menganggap tarzan itu goblok!
Anda berkata, Tarzan kamu ini goblok banget sih! Gitu aja nggak ngerti.
Sekarang, sebagai balas jasa karena Anda sudah mengajak Tarzan tinggal di kota, gantian Anda yang diajak Tarzan tinggal di hutan. Di sana sama sekali tidak ada benda-benda elektronik yang memudahkan hidup Anda.
Anda diajak Tarzan ke sungai untuk mencari ikan. Tarzan menggunakan benda semacam tombak untuk mendapatkan ikan. Kemudian, Anda mengikuti apa yang Tarzan lakukan. Ternyata, Anda tidak bisa! Berkali-kali Anda coba, tapi selalu gagal.
Malam sudah larut, Anda ingin mendapatkan penerangan di gua, tapi di sana tidak ada listrik. Tarzan meminta Anda untuk menyalakan api dengan cara menggesakkan dua buah batu. Well,lagi-lagi Anda tidak bisa!
Kira-kira, apa yang dilakukan Tarzan melihat Anda tidak bisa melakukan apapun di hutan? Tarzan menertawakan Anda!
Tarzan berkata, Anda ini ternyata goblok ya! Nggak bisa apa-apa.
Jadi, siapa yang sebenarnya goblok di sini? Tarzan atau Anda?
Saya harap setelah membaca sedikit analogi tersebut, Anda mengerti maksud saya. Kecerdasan itu dinilai dari dunia yang dijalani seseorang. Tarzan mungkin bodoh di mata Anda. Itu karena ia terbiasa hidup di hutan. Anda bodoh bagi Tarzan, itu karena Anda terbiasa hidup di kota.
Tiap orang itu cerdas, dalam konteks hidupnya masing-masing!
Sekali lagi, anak-anak kita sesungguhnya cerdas. Apabila kita sebagai orangtua atau gurunya, bisa merancang proses pembelajaran yang diawali dengan melihat kebutuhan anak didik.
Apa sih kebutuhan anak kita? Bagaimana kecenderungan belajarnya? Nah, melalui proses pembelajaran yang tepat sesuai dengan kondisi masing-masing anak, saya yakin mereka bisa berkembang sesuai potensi atau kekuatan khasnya.