Mohon tunggu...
Ayu Safitri
Ayu Safitri Mohon Tunggu... Konsultan - Trainer dan Konsultan Homeschooling

Penulis dan Trainer untuk http://pelatihanhomeschooling.com/ Ikuti saya di Instagram https://www.instagram.com/missayusafitri/ Ikuti saya di Facebook https://www.facebook.com/missayusafitri Tonton dan subscribe VLOG saya http://bit.ly/apaituhomeschooling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zaadit dan Daya Kritis yang Tak Mumpuni

8 Februari 2018   10:46 Diperbarui: 8 Februari 2018   10:53 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa, tiap hari Rabu saya selalu menyempatkan untuk menonton tayangan Mata Najwa yang kini diadopsi oleh Trans 7. Tema dari tayangan semalam adalah Kartu Kuning Jokowi, Kritik, Substansi atau Etik?

Zaadit Taqwa, ketua BEM Universitas Indonesia mengacungkan kartu kuning pada Presiden Jokowi di tengah acara dies natalis UI yang ke 68. Mahasiswa ini melakukan kritik atas pemerintahan Jokowi terkait 3 isu yang dianggapnya penting. Yakni, kasus gizi buruk di Azmat, dwifungsi ABRI dan percobaan pembungkaman organisasi mahasiswa.

Bagi saya, tindakan Zaadit sebagai seorang mahasiswa itu hal yang lumrah. Yang saya sayangkan adalah isi kritikan dan caranya menyampaikan kritik tersebut yang kurang elegan.

Mengingatkan atau mengkritik pemerintah adalah hal yang baik. Bayangkan kalau tak pernah dikritik dan dibiarkan begitu saja. Mau salah, mau benar tidak ada yang mengoreksi atau mengapresiasi.

Tapi, disini saya ingin mengingatkan Zaadit, kawan-kawan mahasiswa dan kompasioners bahwa yang lebih penting adalah fokus menyelesaikan masalah yang ada di sekitar kita sesuai dengan kompetensi dan keahlian masing-masing.

Bukan sekedar koar-koar dan melihat sesuatu yang jauh dari jangkauan kita. Tapi juga CERMAT MELIHAT DAN BERANI BERTINDAK menangani masalah di lingkungan terdekat kita lebih dulu.

Ibaratnya seperti ini, kita didoktrin oleh para ustaz bahwa sedekah itu baik. Semakin banyak memberi, semakin banyaklah yang akan diterima. Hingga dalam acara-acara pengajian, saat diminta untuk bersedekah, kita langsung jor-joranmengeluarkan sedekah.

Tapi, kita lupa prinsip sedekah utama yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Yakni, bersedekahlah pada orang yang lebih dekat dan membutuhkan.

Artinya, jangan jauh-jauh ke Asmat bang Zaadit! Perhatikanlah kerabat dan tetangga dekat Anda di Jakarta yang kebanjiran tiap tahun. Anak-anak yang tinggal di kolong jembatan, kesulitan mencari air bersih, tidak punya fasilitas MCK yang higienis, harus menggunakan kamar mandi umum yang mana itu BAYARtiap hari.

Anak-anak kolong jembatan itu nggakmikir bagaimana sekolahnya bahkan untuk bercita-cita saja mereka tidak berani. Yang dipikirkan tiap hari adalah membantu orangtuanya supaya ada uang untuk makan, ada uang untuk bayar tiap kali kebelet pup!

Mereka juga punya penderitaan yang hebat seperti masyarakat Asmat. Mereka juga butuh pendidikan, bagaimana caranya bisa punya penghidupan yang lebih baik. Mereka juga butuh perbaikan gizi agar mampu mencapai kesehatan optimal. Mereka juga ingin punya tubuh yang bugar, penampilan rapi dan berpendidikan seperti kita semua.

Kurangnya Daya Kritis

Bagaimana kita bisa melakukan perbaikan, kalau kita tidak tahu ada sesuatu yang tidak benar di sekitar kita?

Bagaimana kita bisa tahu ada sesuatu yang tidak benar di sekitar kita, kalau kita tidak punya daya kritis?

Hal yang paling penting disini adalah daya kritis. Dengan memiliki kemampuan ini, kita akan sadar bahwa di lingkungan sekitar kita ada sesuatu yang salah/tidak benar.

Kalau tidak punya daya kritis, kita akan cenderung menganggap semua yang ada di sekitar kita itu baik-baik saja alias tidak ada yang salah. Setiap hari Zaadit melihat warga yang tinggal di kolong jembatan. Saya, Anda dan siapa saja yang lewat melihatnya, tapi menganggapnya biasa saja. Memang seperti itu nasibnya. Tidak ada yang bertindak.

Sesekali, mungkin ada yang tergerak untuk memberikan bantuan berupa beras, sembako atau nasi bungkus. Tapi, sumbangan semacam itu akan habis dalam beberapa hari. Yang lebih penting adalah mengedukasi mereka bagaimana cara hidup yang benar. Sumbangan semacam ini hanya akan membuat mereka manja dan ketergantungan.

Oke, kembali lagi ke kasus Zaadit. Jika memang kita ingin mengkritisi, setidaknya berkaca dulu. Apa yang sudah saya lakukan untuk orang-orang di sekitar saya, minimal untuk keluarga, kerabat dan tetangga dekat. Benar kata Bang Adian Napitupulu yang juga diundang dalam Mata Najwa semalam.

Mahasiswa kalau mau menyuarakan derita dan rasa sakit rakyat, harus tinggal dengan rakyat, merasakan air mata dan aroma tubuh rakyat. Jangan mengancungkan kartu kuning kemudian berharap Pak Jokowi menoleh dan memfasilitasi kita berangkat ke Asmat.

Lalu, apa yang akan kalian lakukan disana? Mengajarkan bagaimana pupyang bersih, membangun MCK, kemudian pulang ke Jakarta? Kenapa harus menunggu difasilitasi negara? Kalau memang peduli, langsung turun dan buat gerakan.

Sayangnya, kerabat dan tetangga dekat kita sendiri di Jakarta juga sangat butuh perhatian. Kenapa mahasiswa jauh-jauh menyoroti Asmat? Padahal, yang dekat juga sudah sangat lama menderita. Ini disebabkan karena kurangnya daya kritis kita. Yang akhirnya membuat kita tidak peka dengan lingkungan sekitar.

Kurikulum Ikut Menyumbang

Jadi, daya kritis itu bisa tumbuh kalau kita sering mengajak anak melihat secara langsung mengenai kondisi lingkungan di sekitar kita. Setelah melihat, kita ajak diskusi.

  • Bagaimana pendapatnya mengenai kondisi yang dilihat?
  • Mengapa hal itu bisa terjadi?
  • Apa yang menjadi penyebabnya?
  • Apa dampaknya pada kondisi ekonomi, sosial dan psikologis masyarakat?

Kita juga perlu mengajak anak untuk berandai-andai, bagaimana jika kamu mendapat kesempatan menjadi pembuat keputusan, solusi apa yang akan kamu tawarkan?

Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak pernah diajarkan di sekolah. Yang tiap hari ditanyakan guru adalah sebutkan, jelaskan, urutkandimana semua jawabannya bisa kita temukan dengan mudah di buku. Itu namanya mencatat ulang! Bukan berpikir yang mampu menumbuhkan daya kritis.

Ajak anak kita terjun langsung mengamati fakta kehidupan masyarakat di sekitarnya. Jangan hanya mempelajari materi akademis yang konteksnya jauh dari kehidupan nyata mereka.

Anak gunung dan anak pantai belajar mengenai materi pelajaran yang konteksnya adalah kota megapolitan. Tidak masalah kalau tujuannya adalah membuka wawasan mereka tentang perkotaan.

Tapi, kalau semua materi pelajaran konteksnya seperti itu, namanya bukan wawasan! Itu namanya mematikan kemampuan anak-anak melihat peluang di sekitarnya.

Ini juga yang mengakibatkan banyak warga desa pergi merantau dan berharap banyak dengan mencari kehidupan di kota. Padahal, di desa sendiri ada sumber daya alam melimpah. Jangan berikan harapan pada anak-anak sejak dini mengenai kehidupan yang baik dengan menjadi bagian dari perusahaan multinasional dan tinggal di kota.

Sama halnya dengan yang terjadi pada Zaadit dan kawan-kawan mahasiswa lainnya. Kurangnya daya kritis membuat mereka lupa bahwa kerabat dan tetangga yang sangat dekat seperti urat nadinya juga memiliki penderitaan yang sama.

Aksi kawan-kawan mahasiswa ini peringatan bagi orangtua supaya tak hanya fokus pada prestasi akademis. Yang juga penting adalah membangun kesadaran sosial. Mari kita berbenah diri, tumbuhkan daya kritis anak-anak kita. Agar mereka CERMAT MELIHAT DAN BERANI BERTINDAK untuk orang-orang yang lebih dekat nan membutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun